Jakarta (Greeners) – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menegaskan bahwa pemerintah Indonesia harus mulai berani menggeser pola manajemen perikanan yang bersifat eksploitatif menjadi sesuatu yang lebih inovatif.
Ketua Umum KNTI M. Riza Damanik mengatakan bahwa kondisi yang terjadi saat ini merupakan sebuah ironi dimana sejumlah provinsi seperti Papua dan Maluku yang memiliki kekayaan sumberdaya ikan melimpah, namun hanya tersedia 1.524 Unit Pengolahan Ikan (UPI) atau kurang dari 3 persen dari total jumlah UPI Nasional. Hal itu pun, ujar Riza, masih diperparah dengan kondisi sebagian UPI yang hanya digunakan sebagai gudang penyimpanan.
“Kami menginginkan seluruh pemangku kepentingan di sektor kelautan agar bisa mengedepankan manajemen perikanan yang lebih inovatif dan berkelanjutan,” katanya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Senin (22/06).
Untuk itu, lanjut Riza, dibutuhkan dorongan dari berbagai pihak untuk mendorong pola hilirisasi dengan tujuan utamanya adalah pengaturan negara yang adil, berkelanjutan, dan partisipatif. Maka dari itu, ia menyatakan bahwa seharusnya momentum pemberantasan pencurian ikan dan inisiatif RUU Perlindungan Nelayan harus berkorelasi dengan strategi hilirisasi.
Riza juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 15 ribu alumni kelautan dari sekitar 60 universitas negeri dan swasta di Indonesia, serta sekitar 700 lebih SMK Kelautan dan Perikanan. Karena itu, seharusnya peran dari semua pihak bisa tersambung dengan agenda hilirisasi, baik kampus maupun kampung pesisir harus bersinergi menjadikan Indonesia sebagai poros kelautan dan perikanan yang inovatif, adil, dan berkelanjutan.
“Apalagi bobot pasal-pasal dalam UU Perikanan lebih dari 50 persennya masih berkutat pada kegiatan penangkapan dan eksploitasi. Hanya kurang dari 17 persen objek pengaturannya pada kegiatan hilirisasi atau pengolahan,” tukasnya.
Penulis: Danny Kosasih