Jakarta (Greeners) – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) membenarkan bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) berdampak buruk bagi nelayan dan petambak. Dengan tidak mengabaikan persoalan karut-marut pengelolaan energi nasional, KNTI menyayangkan ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi dampak kenaikan BBM secara langsung di kampung nelayan.
Ketua Dewan Pembina KNTI, Riza Damanik, meminta kepada pemerintah untuk membenahi distribusi BBM dan layanan informasi cuaca, lokasi penangkapan ikan dan harga ikan di kampung nelayan.
Pasalnya, menurut Riza, sama seperti sebelumnya, kenaikan BBM sebesar Rp 2.000 kali ini mendongkrak harga BBM di kampung nelayan sebesar Rp 2.500 hingga Rp 6.000 per liternya. Namun dengan kenaikan ini, harga udang di Lampung dan ikan di Kendal justru turun.
“Berdasarkan laporan yang diterima oleh KNTI, kenaikan harga beli BBM jenis Solar di kampung nelayan & petambak bervariasi sejak tanggal 18 November kemarin. Di Rawajitu, Lampung, Rp 8.500-Rp 9.000; di Tanjung Balai dan Langkat, Sumatera Utara, Rp 7.800-Rp 8.500; di Kendal dan Demak, Jawa Tengah, masing-masing Rp 7.800 dan Rp 8.000; di Gresik dan Surabaya, Jawa Timur, Rp 8.500; di Lombok Timur Rp 9.000; dan Lamalera, NTT Rp 12.500,” terang Riza, Jakarta, Rabu (19/11).
Berdasarkan laporan tersebut, Riza berpendapat kalau pemerintah perlu segera membenahi distribusi BBM ke kampung nelayan guna mencegah penggelembungan harga jual BBM. Selain itu, pemerintah juga harus segera menyiapkan instrumen layanan informasi lokasi penangkapan ikan, cuaca dan harga ikan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan BBM.
“Jika saat ini proporsi biaya produksi nelayan berkisar 50-70% untuk membeli BBM, ke depan harus ditekan 30-40% saja,” tegasnya.
Lalu, lanjutnya, untuk strategi jangka panjang, KNTI mengusulkan kepada pemerintah untuk memasukkan pengembangan energi terbarukan bagi nelayan ke dalam kebijakan energi nasional. Riza menjelaskan kalau ternyata buah mangrove (nipah) dan kelapa dapat dikembangkan menjadi energi terbarukan, sehingga ketergantungan terhadap energi fosil dapat dikurangi.
“Untuk tiga bulan ke depan, persoalan mendasarnya harus segera diselesaikan. Pemerintah tidak boleh mengulang kesalahan serupa. Apalagi kalah dengan mafia perikanan yang selama ini mencuri BBM bersubsidi,” pungkasnya.
(G09)