Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan revisi terbaru Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau yang biasa dikenal dengan peta indikatif moratorium hutan. Revisi yang sudah dilakukan untuk kesembilan kali ini merupakan hasil evaluasi sesuai arahan yang telah diberikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa penetapan hasil revisi ke sembilan ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri No. SK. 5385/MenLHK-PKTL/IPSDH/2015 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain.
“Revisi ini merupakan evaluasi yang dilakukan enam bulan sekali, sesuai arahan Presiden yang tertuang di dalam Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015 tertanggal 13 Mei 2015 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan gambut, atau yang lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Hutan. Di sana disebutkan bahwa evaluasi berkala wajib dilakukan dan dilaporkan langsung ke Presiden Indonesia,” ujar Siti dalam konferensi pers di Gedung Manggala Wana Bakti, Jakarta, Kamis (17/12).
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Ruang Lingkungan KLHK, San Afri Awang, menyatakan, luas area moratorium kawasan hutan pada revisi kesembilan kali ini menjadi 65.086.113 hektare atau lebih banyak 71.099 hektare jika dibandingkan dengan revisi kedelapan yang luasannya mencapai 65.015.014 hektare.
Penambahan tersebut, katanya, disebabkan karena banyak hal. Diantaranya adanya perkembangan tata ruang kehutanan, di mana perubahan fungsi hutan produksi menjadi kawasan hutan lindung atau konservasi, pembaharuan data perizinan seperti pencabutan PT Hutani Sola (Riau), PT Lembah Kencana (Papua), dan PT Dyera Hutani Lestari (Jambi), pembaharuan data izin pemanfaatan dan izin pelepasan untuk perkebunan, dan pembaharuan data transmigrasi lama yang baru terinventarsasi.
Selain itu ada pula karena pembaharuan data bidang tanah berdasarkan data Hak Guna Usaha (HGU) yang diperoleh dari Badan Pertanahan Negara (BPN), konfirmasi perizinan sebelum Inpres dan tindak lanjutnya seperti masukan dari masyarakat tentang zin dan pengusahaan lahan, laporan hasil survei hutan alam primer dan laporan hasil survei lahan gambut.
Ia juga menyebutkan kalau revisi kesembilan ini memasukkan data dari beberapa lembaga pemerintahan. Diantaranya, yaitu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Badan Informasi Geospasial.
Hingga kini, revisi peta indikatif moratorium hutan telah dilakukan sebanyak sembilan kali. Revisi pertama dikeluarkan pada tanggal 20 Juni 2011, atau satu bulan setelah Inpres Moratorium hutan ditandatangani oleh Presiden Indonesia yang kala itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Mei 2011. Luasan revisi pertama sebesar 69.144.073 hektare.
Menurut San Afri, sepanjang 2011-2015, luasan rata-rata peta indikatif moratorium hutan berada di angka 65 juta hektare. Dengan terbitnya Surat Keputusan ini, maka Gubernur dan Bupati atau Walikota wajib berpedoman pada lampiran peta indikatif PIPPIB hasil revisi sembilan dalam menerbitkan rekomendasi dan penerbitan izin lokasi baru.
Penulis: Danny Kosasih