Jakarta (Greeners) – Wacana penutupan sementara Taman Nasional (TN) Komodo yang bertujuan untuk melakukan perbaikan tata kelola khususnya untuk mendukung tujuan konservasi masih dalam tahap pembahasan. Namun Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Dody Wahyu Karyanto menyatakan bahwa berdasarkan data yang ada penutupan TN Komodo belum diperlukan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelumnya telah mengeluarkan beberapa data terkait TN Komodo. Pada tahun 2017 berdasarkan pemantauan Balai TN Komodo dan Komodo Survival Programme, jumlah populasi komodo sebanyak 2.762 individu yang tersebar di Pulau Rinca (1.410 individu komodo), Pulau Komodo (1.226 individu komodo), Pulau Padar (2 individu komodo), Pulau Gili Motang (54 individu komodo), dan Pulau Nusa Kode (70 individu komodo). Sedangkan populasi rusa sebanyak 3.900 individu dan kerbau sebanyak 200 individu. Pada tahun 2018 ditemukan satu individu komodo mati secara alamiah karena usia.
“Iya, kalau dilihat dari data base (populasi) satwanya belum urgent, dan sudah dijelaskan oleh Pak Dirjen (Wiratno Dirjen KSDAE KLHK) belum perlu penutupan tersebut,” ujar Dody saat dihubungi oleh Greeners melalui pesan singkat, Selasa (29/01/2019).
BACA JUGA: Menteri LHK: Penutupan TN Komodo Masih Didiskusikan
Ancaman terhadap komodo adalah masih ditemukannya perburuan rusa yang umumnya dilakukan oleh oknum masyarakat Kabupaten Bima. Kejadian perburuan rusa pada tahun 2018 telah ditangani secara hukum oleh pihak Polres Bima. Program breeding rusa telah dibangun di Kecamatan Sape, Kabupaten Bima untuk mengurangi tingkat perburuan rusa di TN Komodo.
Lebih lanjut Dody mengatakan bahwa penutupan taman nasional menjadi kewenangan pusat, dalam hal ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990. Jadi jika ada degradasi ekosistem, penurunan populasi, gejala alam yang membahayakan pengunjung, taman nasional bisa ditutup dengan syarat didahului oleh pengkajian.
“Kalau TN ditutup itu artinya tidak boleh dikunjungi dan bersifat sementara, kawasannya tetap dikelola dengan pemulihan ekosistem, pembinaan populasi dan lain-lain,” kata Dody.
Pernyataan berbeda disampaikan Ketua Tim Adhoc Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Khalisah Khalid. Ia mengatakan bahwa model kelola taman nasional seharusnya melibatkan masyarakat karena sosial budaya kepemilikan tanah itu komunal (milik rakyat atau umum).
“Negara itu sebagai penyelenggara bukan pemilik. Berdasarkan konstitusi, negara kita ini dimandatkan kepada pemerintah tapi bukan untuk memilikinya. Pemahaman ini yang salah selama ini, seolah-olah pemerintah memiliki dan memberikan seenaknya kepada perusahaan tanpa meminta persetujuan rakyat,” ujar Khalid saat ditemui oleh Greeners di Cikini, Jakarta.
BACA JUGA: KSDAE Pastikan Satwa Komodo Tidak Akan Terganggu Akibat Wisata Alam
Diketahui bahwa di TN Komodo, selain satwa komodo yang digemari oleh wisatawan mancanegara, saat ini terdapat juga 42 titik selam dan snorkeling yang juga menjadi daya tarik kunjungan. Tren jumlah pengunjung terus meningkat; pada tahun 2014 (80.626), tahun 2015 (95.410), tahun 2016 (107.711), tahun 2017 (125.069), tahun 2018 (159.217).
Dengan tiket masuk wisatawan mancanegara sebesar Rp150.000 dan wisatawan nusantara sebesar Rp5.000, berdasarkan PP 12 tahun 2014 tentang Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka penerimaan pungutan yang disetor oleh Balai TN Komodo kepada kas negara adalah tahun 2014 (Rp5,4 Miliar/M), tahun 2015 (Rp19,20 M), tahun 2016 (Rp22,80 M), tahun 2017 (Rp29,10 M), dan tahun 2018 (Rp33,16 M).
“Terkait dengan TN ini, kami khawatir nantinya akan menjadi privatisasi. Kita tahu pemerintahan saat ini bicara soal kawasan industri pariwasata sebagai pengganti untuk pembangunan ekonomi. Permasalahannya adalah bukan soal model jenis komoditasnya tapi bagaimana model pembangunan ekonomi yang dilaksanakan di lapangan, itu yang harus diperbaiki dulu,” ujar Khalid.
Sebagai informasi, kawasan TN Komodo merupakan salah satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia dengan luas 173.300 ha yang terdiri dari 132.572 ha kawasan perairan dan 40.728 ha kawasan daratan. Pada tahun 1977 ditetapkan UNESCO sebagai kawasan Cagar Biosfer, lalu pada tahun 1991 dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia, dan sebagai New 7 Wonders of Nature oleh New 7 Wonders Foundation pada tahun 2012.
Penulis: Dewi Purningsih