Jakarta (Greeners) – Saat ini bisnis kehutanan di Indonesia dinilai belum mampu bergerak dinamis mengikuti teknologi yang terus berevolusi. Menghadapi permasalahan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkenalkan dua sistem baru pengelolaan hutan, yaitu Reduce Impact Logging (RIL) dan Silviculture Intensive (SILIN).
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Hilman Nugroho mengatakan bahwa sistem SILIN akan diterapkan pada kegiatan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) maupun Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Hal ini dikarenakan selama ini TPTI pada lahan sekitar satu hektare hanya mendapat 30 meter kubik kayu.
“Untuk itu bagaimana caranya ke depan kita bisa maju dan produktivitas bisa tinggi. Jawabannya ada dua, penebangan yang ramah lingkungan dan menggunakan sistem silvikultur unggul. Sebelumnya hanya mendapatkan 30 meter kubik menjadi 120 meter kubik. Ini hanya menggunakan 20 persen areal dari satu hektare tersebut,” kata Hilman dalam diskusi media di gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta, Selasa (18/09/2018).
BACA JUGA: Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat
Hilman memaparkan di era 1990-an produksi kayu dari hutan alam mencapai 28 juta meter kubik, namun jumlah ini menurun drastis hingga 80% pada tahun 2015. Penyebabnya adalah luas areal hutan alam yang menurun dan pertambahan diameter tegakan tinggal pada hutan alam kurang lebih 0,4 cm per tahun. Hal ini berdampak pada penurunan jumlah industri pengelolaan kayu, serapan tenaga kerja dan keragaman hayati hutan alam sekunder.
Pengaplikasian teknik SILIN pada hutan alam sekunder dilakukan dengan penanaman dengan penyuburan (enrichment planting) berbasis pada spesies asli unggul. Pendekatan ini akan menggunakan teknik penanaman jalur maupun penanaman rumpang (gap planting). SILIN sendiri merupakan teknik silvikultur yang memadukan unsur pemulihan pohon, manipulasi lingkungan dan pengelolaan hama pada kegiatan pengelolaan hutan.
“Teknologi SILIN dengan jenis dipterokarpa unggul mampu meningkatkan pertumbuhan diameter tanaman hingga lebih dari 1,7 cm per tahun dibandingkan pertumbuhan meranti secara alami, yaitu berkisar 0,4 cm per tahun. Penerapan ini akan menghasilkan produktivitas hutan alam lebih dari 300% dibandingkan dengan pemanfaatan hutan alam tanpa penanaman dengan penyuburan secara intensif,” kata Hilman.
BACA JUGA: Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Belum Maksimal
Sistem baru pengelolaan hutan lainnya adalah Reduce Impact Logging (RIL). RIL merupakan pendekatan secara sistematis dalam kegiatan pemanenan hutan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pemanenan kayu.
“RIL ini meminimalisir limbah pemanenan, meningkatkan produksi kayu, dan mengurangi emisi karbon. Penerapan RIL hukumnya wajib bagi setiap perusahaan yang melaksanakan pemanenan kayu,” kata Hilman.
RIL memiliki dampak dalam aspek pengendalian perubahan iklim, diantaranya menurunkan emisi CO2 sebesar 29-50% dari emisi CO2 yang disebabkan deforestasi hutan dan perubahan tata guna hutan, meningkatkan laju penyerapan CO2 dari udara sebesar 1,7 kali dan penyimpanan karbon hutan sebesar 1,56 kali, dan menekan emisi CO2 sebesar 41% dalam proses dekomposisi serasah.
Sebagai informasi, sistem SILIN dan RIL akan diperkenalkan ke masyarakat melalui pameran teknologi usaha kehutanan Indonesia dalam acara Festival dan Pameran Kesatuan Pengelolaan Hutan Tingkat Nasional dan PUSAKA pada tanggal 23 September mendatang di Yogyakarta.
Menurut Hilman kedua sistem baru ini menunjukkan kemajuan usaha kehutanan dalam mengelola dan mewujudkan hutan lestari. Kedua sistem diharapkan dapat mewujudkan hutan Indonesia yang lebih bermanfaat, mempunyai nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi, sehat dan lestari.
Penulis: Dewi Purningsih