Jakarta (Greeners) – Indonesia terpaksa menerima keputusan proposal pelarangan perdagangan trenggiling di Asia yang dibahas dalam Convention International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka Flora dan Fauna Liar di Afrika Selatan beberapa waktu lalu.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Dahono Adji mengakui bahwa sebelumnya, Indonesia memang sempat menolak proposal tersebut lantaran Indonesia telah memiliki penangkaran di daerah Probolinggo, Jawa Timur.
Penangkaran tersebut dinilainya berhasil karena mampu menghasilkan delapan ekor anakan trenggiling. Keberhasilan penangkaran tersebut, katanya, telah mematahkan anggapan kalau trenggiling adalah hewan yang sulit ditangkarkan. Sebelum konvensi, trenggiling sendiri masuk dalam daftar Appendix II Cites, yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan.
“Kita menolak karena dalam PP Nomor 7 tahun 1999 kita sudah melindungi trenggiling dan menerapkan zero kuota atau tidak boleh ada perdagangan sama sekali. Kita berharap ekspor itu baru bisa dilakukan pada kategori F2 atau hewan yang sudah generasi ketiga saat berada di penangkaran. Tapi kita keburu kalah di COP CITES kemarin karena banyak negara yang ingin agar trenggiling masuk Appendix I,” jelasnya, Jakarta, Senin (10/10).
BACA JUGA: Dua Pelaku Perburuan dan Perdagangan Trenggiling di Medan Ditangkap
Kerugian yang jelas dirasakan oleh Indonesia dengan masuknya trenggiling dalam kategori Appendix I, lanjutnya, adalah tidak diperbolehkan adanya perdagangan di seluruh dunia. Sedangkan jika trenggiling tetap berada dalam kategori Appendix II, Indonesia masih bisa melakukan perdagangan (ekspor) dari hasil penangkaran.
“Kalau sudah Appendix I tidak bisa karena harus seizin dari sekretaris CITES. Sebetulnya kita tidak setuju keputusan ini. Tapi karena kita bagian dari konvensi CITES, jadi mau tidak mau ya kita harus mengikuti keputusan sidang kemarin,” tambahnya.
Sebelumnya, konvensi CITES menyatakan perlunya kontrol pada setiap perdagangan trenggiling Asia dalam upaya menjamin kelangsungan hidup satwa tersebut. Trenggiling mendapat perhatian besar beberapa tahun terakhir, karena para ahli satwa liar menyebutkan bahwa trenggiling merupakan mamalia yang paling diperdagangkan di Bumi.
Pada akhir konvensi proposal pelarangan perdagangan trenggiling di Asia berhasil disetujui dengan satu negara menyatakan tidak setuju. Sedangkan proposal untuk bagian Afrika disetujui dengan konsensus. Indonesia yang sempat menjadi satu-satunya negara yang tidak setuju dengan proposal ini pun akhirnya menyatakan setuju dan tunduk pada keputusan konvensi.
BACA JUGA: Perdagangan Ilegal, Perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar Lemah
Dihubungi terpisah, Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri, Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, di Indonesia, trenggiling banyak yang diselundupkan ke luar negeri sesuai dengan permintaan pasar dan pesanan. Sepanjang 2016 saja, menurutnya, ada sejumlah kasus penyelundupan trenggiling yang telah digagalkan kepolisian.
“Pelaku perdagangan trenggiling juga sebenarnya dapat dijerat UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, melalui pasal 21 ayat 2 huruf a, dan pasal 40 ayat 2. Undang-undang itu berisi ancaman hukuman pidana lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih