KLHK Bakal Tindak Tegas Pelanggar Aturan Perdagangan Karbon

Reading time: 3 menit
KLHK bakal bertindak tegas kepada entitas bisnis yang melanggar aturan perdagangan karbon. Foto: KLHK
KLHK bakal bertindak tegas kepada entitas bisnis yang melanggar aturan perdagangan karbon. Foto: KLHK

Jakarta (Greeners) – Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan salah satu upaya negara untuk menurunkan emisi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bakal bertindak secara tegas kepada entitas bisnis yang melanggar aturan perdagangan karbon.

Perdagangan karbon adalah pembelian dan penjualan kredit karbon, di mana pembelinya menghasilkan emisi karbon di atas batas ketentuan. Kredit karbon mewakili “hak” perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Mekanisme ini bisa memungkinkan terjadinya negosiasi dan pertukaran hak emisi gas rumah kaca oleh perusahaan.

Regulasi Perdagangan Karbon

Saat ini, terdapat beberapa regulasi terkait perdagangan karbon. Di antaranya Peraturan Presiden Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Selain itu, ada beberapa peraturan lainnya untuk mengatur tata kelola perdagangan karbon di Indonesia. Salah satunya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

“Berdasarkan perundangan yang mengatur karbon, entitas bisnis pemegang Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang akan melakukan perdagangan karbon wajib mengikuti regulasi tersebut. Bagi entitas bisnis pemegang PBPH yang tidak mentaati regulasi akan mendapatkan sanksi,” ujar Direktur Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan KLHK, Khairi Wenda, Jumat (1/3).

BACA JUGA: Pemerintah Perlu Pahami Mekanisme Perdagangan Karbon

Wenda menambahkan, salah satu bentuk sanksi atas pelanggaran tersebut adalah pembekuan dan pencabutan izin konsesi kehutanan oleh KLHK. Sanksi itu telah mereka berikan kepada salah satu perusahaan pemegang PBPH. Pencabutan tersebut imbas perusahaan telah memindahtangankan perizinan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari Menteri LHK.

Mereka juga melakukan transaksi perdagangan karbon lebih luas dari areal perizinan (PBPH) yang dimilikinya. Bahkan, melanggar perjanjian kerja sama dengan salah satu taman nasional. Perusahaan tersebut juga tidak membayarkan PNBP sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

KLHK bakal bertindak tegas kepada entitas bisnis yang melanggar aturan perdagangan karbon. Foto: KLHK

KLHK bakal bertindak tegas kepada entitas bisnis yang melanggar aturan perdagangan karbon. Foto: KLHK

Pelaku Usaha Wajib Urus SRN

Sementara itu, mekanisme perdagangan karbon juga harus para pelaku usaha ikuti. Salah satunya, mereka harus mengurus sistem registri nasional (SRN). Dalam hal ini, pemerintah juga terus mencatat pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, nilai ekonomi karbon (NEK), sumber daya perubahan iklim pada SRN pengendalian perubahan iklim (PPI).

SRN PPI adalah sistem pengelolaan, penyediaan data, dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, dan NEK di Indonesia. Aturan tersebut telah tertuang dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021. Hal ini bertujuan agar pemerintah memiliki satu data emisi gas rumah kaca dan ketahanan iklim.

BACA JUGA: Perketat Larangan BPO, Jaga Ozon Sekaligus Tekan Emisi GRK

’’Data nasional, sektor, dan subsektor inilah yang kemudian menjadi rujukan nasional dan internasional. Jadi, fungsi SRN itu sebagai dasar pengakuan pemerintah atas kontribusi penerapan NEK dalam pencapaian target NDC. Kedua, data dan informasi aksi dan sumber daya mitigasi penerapan NEK,’’ ungkap Hari.

Hari mengatakan, SRN PPI dapat menghindari penghitungan ganda atas tindakan mitigasi atau duplikat klaim. Selain itu, SRN PPI juga dapat menjadi bahan penelusuran pengalihan dan bahan pertimbangan kebijakan operasional lebih lanjut sesuai kebutuhan.

“SRN PPI sangatlah penting. Sebenarnya, bukan hanya pelaku usaha yang berkewajiban mencatatkan pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, NEK dan sumber daya perubahan iklim pada SRN PPI. Kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat juga dapat mencatatkan dan melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan NEK pada SRN PPI. Hal ini tertera dalam Permen LHK Nomor 21 Tahun 2021,” ungkap Hari.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top