KLHK Akui Karhutla Jadi Tantangan Terbesar dalam Program REDD+

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui bahwa lahan gambut adalah sumber emisi terbesar dari sektor lahan dan estimasi emisi melibatkan tingkat ketidakpastian yang tinggi.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin, menyatakan, lahan gambut di Indonesia saat ini terkonsentrasi di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luasnya kawasan budidaya di kawasan hutan dan non-hutan yang berada di lahan gambut juga menambah kompleksitas masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Menurut Nur, tidak hanya menyangkut isu teknis, namun metodologi penghitungan estimasi emisi dari kebakaran hutan dan lahan juga masih mengandung ketidakpastian yang tinggi. Ini artinya ada ketidakakuratan atau akurasi rendah yang menjadi persoalan.

Selain itu, permasalahan kepatuhan hukum dan penegakan hukum serta komitmen daerah, kehidupan masyarakat, kapasitas Sumber Daya Manusia dan institusi juga merupakan tantangan dalam menekan kebakaran hutan dan lahan.

“Di beberapa wilayah ada kecenderungan over estimate data karena terdapat area dengan recurrent fires (kebakaran yang berulang). Area tersebut perlu menggunakan faktor emisi yang lebih rendah,” katanya saat menjadi pengisi utama diskusi di Festival Iklim 2016 di Jakarta, Selasa (02/02).

Emisi Karhutla 2015

Emisi Karhutla 2015

Untuk estimasi emisi karhutla tahun 2015, Nur menjabarkan data per tanggal 28 Oktober 2015 seperti luas area terbakar 2015 (burnt scar) ada 2.6 juta hektare, di tanah mineral seluas 1.712.916 hektare dan di tanah gambut 927.132 hektare.

Faktor Emisi (EF) kebakaran gambut dihitung dengan Rujukan Deforestasi dan Degradasi Hutan (FREL) dalam Kerangka REDD+ tahun 2015 sebesar 923.1 t CO2eq/ha. Sedangkan EF Above Ground Biomass (AGB) bergantung kelas tutupan yang terbakar.

Langkah selanjutnya, kata Nur, KLHK akan membawa REDD+ ke ranah operasional dengan membangun registry dan sistem penguatan MRV (2016), melakukan resolving isu kebijakan, menempatkan FREL di sub-nasional, menyiapkan REDD+ financing (Institusi dana Iklim) bersama Kementerian Keuangan, penyelesaian revisi peraturan terkait, memasukkan REDD+ dalam NDC (REDD+ sebagai bagian dari Paris Agreement).

“Kerjasama Indonesia dengan Norwagia juga ditargetkan akan rampung seratus persen (full implementation) pada tahun 2018,” tandasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top