Jakarta (Greeners) – Regulasi hukum yang mengatur klaim atas hutan adat dinilai masih belum terpenuhi. Dalam Webinar bertajuk “Indonesia Bicara: Klaim Hutan Adat”, lembaga masyarakat adat mengusulkan pembentukan peraturan daerah untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat dan klaim atas hutan adat.
Ketua Yayasan Pemberdayaan dan Pengkajian Masyarakat dan Masyarakat Adat Kalimantan, Simpun Sampurna mengatakan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah sejak setahun lalu telah membentuk panitia masyarakat hukum adat di seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah. Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, masyarakat hanya diberi kewenangan untuk bekerja di lintas kabupaten. Sedangkan di tingkat kota menjadi otoritas panitia provinsi.
Baca juga: Dana Global Climate Fund Diharapkan Bisa Perkuat Hak Masyarakat Adat
“Jadi, memang tidak ada sampai hari ini tidak ada pengusulan (perda) itu. Kalau kita akui soal masyarakat adat, saya melihat ini adalah kekosongan hukum dari tahun 60. Misalnya diperintahkan membuat perda, tidak ada perdanya,” ucap Simpun, pada Kamis, (17/09/2020).
Ia mengatakan, dalam konflik Kinipan, kekosongan peraturan daerah membuat tidak adanya tempat untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat adat. Ketiadaan regulasi juga membuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masyarakat adat terus berkembang. Padahal menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria telah mensyaratkan untuk membuat peraturan daerah.
“Inilah kekosongan hukum yang tidak ada. Sebenarnya, persoalan Kinipan ini tidak besar kalau dijalankan, yang tidak menjalankan adalah pemerintah daerah,” ujarnya.
Pakar Hukum Kehutanan, Sadino, mengatakan bahwa hutan adat sendiri masih rentan menjadi objek perselisihan. Ia menuturkan di Kinipan, misalnya, pemohon atau orang yang mengklaim kepemilikan hutan ada, tetapi hingga kini objek atau hutan adatnya masih menjadi konflik. “Kalau masih ada dispute (perselisihan) harus ada penyelesaiannya seperti apa konflik tenurial ini,” kata dia.
Ia menilai persetujuan suatu kawasan hutan sebagai hutan adat akan berkaitan dengan diakuinya masyarakat adat sendiri. Hal ini dikarenakan, saat lahan hutan sudah ditetapkan sebagai hutan adat, selama itu masyarakat adat yang terus-menerus mengurus hutan tersebut. Namun, bila statusnya adalah hutan negara, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada masyarakat hukum adat sebagai pengelolanya.
“Tapi pada saat statusnya APL (Area Penggunaan Lain), harus berdaya guna dan membiayai juga. Jadi, tentu penetapannya, formatnya juga berbeda, permohonannya juga berbeda, masalah pembiayaan, dan seterusnya, hutannya juga berbeda,” ucapnya.
Keberadaan Hutan Adat
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto mengatakan, hutan adat dapat berada di kawasan hutan negara maupun di Area Penggunaan Lain (APL). Menurutnya jika berada di kawasan hutan, masyarakat hukum adat di dalamnya harus ditetapkan melalui peraturan daerah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Masyarakat hukum adat itu dicirikan ada pemimpinnya, hukumnya, kemudian ada wilayahnya, dan ada anggota komunitasnya. Itu kemudian dijabarkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 31, sekarang Nomor 21 Tahun 2019, untuk pengakuan hutan adat,” ucap Bambang.
Baca juga: Proyek Tambang Pasir Laut Diduga Melibatkan Orang Terdekat Gubernur
Ia menuturkan, untuk kawasan hutan yang masuk ke dalam Area Penggunaan Lain, landasan hukum yang digunakan adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Tata Cara untuk Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Untuk penetapannya sendiri, kata dia, lembaga yang berwenang adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Selain itu, Bambang juga mengatakan masyarakat perlu mengusulkan terlebih dahulu dan diperlukan pula subjek dan objeknya. Subjek yang dimaksud adalah masyarakat hukum adatnya, sementara objeknya adalah hutan adat.
“Tentunya untuk penetapan hutan adat ini yang pertama ada usulan, baik itu dari pemerintah daerah, yang paling penting adalah subjek dan objeknya. Dari situ, kemudian kita akan verifikasi untuk memastikan bahwa tanah hutan adat itu ada hak-hak yang lain. Itu coba kita fasilitasi. Jadi, pemerintah itu selain meregulasi juga memfasilitasi dan mediasi sampai hak-hak masyarakat itu didapatkan,” ujarnya.
Penulis: Ida Ayu Putu Wiena Vedasari
Editor: Devi Anggar Oktaviani