Jakarta (Greeners) – Fenomena kematian massal ikan masih dialami pembudidaya ikan keramba jaring apung (KJA) dan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Sebagai upaya penanggulangan, pencegahan, dan pengendalian kejadian kematian massal ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis rekomendasi berupa kalender ‘Prediksi Kematian Massal Ikan’ dan skema ‘Alur Penanganan Kematian Massal Ikan’.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Sjarief Widjaja menyampaikan bahwa kalender prediksi dan skema alur penanganan ini dapat membangun kesadaran pembudidaya dan para pengambil kebijakan untuk tidak menganggap sepele setiap kasus kematian massal ikan.
“Dalam satu tahun tidak boleh semua ditanami, ada masanya danau butuh bernafas, tidak dibebani terus. Saya coba sampaikan rekomendasi ini, kalau bisa kita mulai Februari sampai Juli, selebihnya KJA akan berhenti dulu,” ujar Sjarief saat temu media terkait kematian massal ikan di Jakarta, Kamis (13/09/2018).
BACA JUGA: KKP Lakukan Penilaian Kompetensi kepada 2.550 Penyuluh Perikanan
Lebih lanjut Kepala Pusat Riset Perikanan KKP Toni Ruchimat mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian di lapangan, terdapat tiga kategori dalam kalender Prediksi Kematian Massal Ikan yang patut dicermati, yakni kategori aman, waspada dan bahaya.
“Pada kategori aman, para pembudidaya KJA dapat melakukan kegiatan budidaya sesuai dengan standar dan daya dukung serta zonasi yang telah dilakukan. Sedangkan pada kategori waspada, para pembudidaya KJA diminta untuk mengurangi pemberian pakan, kurangi padat tebar ikan dalam KJA, memperhatikan perubahan kondisi lingkungan perairan hingga melakukan panen lebih awal,” tutur Toni.
Disamping itu, lanjut Toni, terdapat peringatan dini yang harus dicermati para pembudidaya KJA, yakni jika temperatur air di KJA rendah, oksigen terlarut rendah (< 3mg/L), angin dan mendung sepanjang hari, serta terjadi hujan lebat terus-menerus, maka dipastikan akan memasuki kategori bahaya.
“Memasuki kategori bahaya, seluruh pembudidaya diminta untuk melakukan pemanenan ikan yang siap panen, menghentikan kegiatan budidaya, memelihara ikan yang tahan terhadap kondisi perairan yang jelek, penambahan aerasi serta relokasi KJA ke lokasi yang lebih dalam,” jelasnya.
BACA JUGA: KKP Selamatkan Benih Lobster Senilai Rp150 Miliar
Bersamaan dengan kalender Prediksi Kematian Massal Ikan, BRSDM juga memiliki skema alur penanganan kematian massal ikan di KJA sebagai cara penanganan kematian massal ikan di KJA. Untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan pengendalian kematian massal ikan KJA di perairan danau atau waduk, KKP memiliki rekomendasi, diantaranya dengan penggunaan eceng gondok untuk memperbaiki kualitas air. Akar dari eceng gondok (Eichhornia crassipes) mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh berbagai bahan kimia buatan industri.
Pembudidaya juga dapat menggunakan hasil penelitian KKP berupa Buoy Pluto untuk peringatan dini pencemaran perairan. Buoy Pluto merupakan alat pemantau kualitas air yang dapat diakses melalui internet (sistem telemetri). Dengan alat ini, para pembudidaya dapat memahami dan membaca keadaan lingkungan penyebab umbalan.
Selain itu, KKP juga memiliki KJA Sistem Manajemen Air dengan Resirkulasi dan Tanaman (SMART) yang merupakan sistem budidaya KJA dengan meminimalisir masukan bahan pencemar organik yang berasal dari pakan yang terbuang dari limbah budidaya KJA. KJA SMART memadukan sistem semi resirkulasi, akuaponik dan filtrasi fisik. Dengan menerapkan KJA SMART, diharapkan dapat menjadi solusi terhadap perbaikan dan konservasi perairan.
Untuk mengurangi dampak negatif pakan yang tidak termakan ikan budidaya, dapat dilakukan dengan menerapkan budidaya ikan dalam KJA ganda. Ikan yang dipelihara dalam jaring lapisan kedua (bagian luar) tidak diberi makan tetapi hanya mengandalkan makanan yang tidak termakan ikan utama yang dipelihara dalam jaring lapisan kesatu (bagian dalam).
Disamping itu, peningkatan produksi perairan umum juga dapat dilakukan melalui Culture-Based Fisheries (CBF). Program CBF memiliki manfaat untuk menjaga lingkungan dan kualitas air danau atau waduk serta meningkatkan ekonomi nelayan lokal.
“Dengan konsep CBF masyarakat tidak sepenuhnya bergantung kepada KJA lagi. Jadi sebelum KJA dikurangi kami memberikan alternatif yaitu dengan CBF ini. Disamping kami mulai mengelola secara profesional gulma-gulma di danau tadi. Mari kita petakan yang rapi, dibatasi sebuah jaring, tertata dengan benar. Kalau sudah seperti itu nanti akan menjadi daya tarik wisata baru,” jelas Sjarief.
Sjarief menegaskan upaya pencegahan dan pengendalian bisa dilakukan asalkan pembudidaya mematuhi peraturan dan mengikuti imbauan. Diperlukan juga ketegasan dari pemerintah daerah atau dinas setempat untuk melarang para pembudidaya melakukan budidaya di bulan-bulan yang masuk dalam kategori bahaya.
Penulis: Dewi Purningsih