Jakarta (Greeners) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama dengan Kementerian Pariwisata menandatangani kesepakatan bersama dalam mengembangkan kepariwisataan nasional khususnya wisata bahari. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa nantinya, kesepakatan ini diharapkan dapat mendukung fasilitas program prioritas KKP dan Kementerian Pariwisata.
Adapun yang menjadi prioritas kerja sama yaitu pengembangan potensi sumber daya alam wisata bahari, pengembangan sumber daya manusia, promosi dan pemasaran wisata bahari, pertukaran data dan informasi, peningkatan pengawasan bersama sumber daya kelautan dan perikanan dan wisata bahari, serta pemanfaatan sarana dan prasarana.
“Indonesia perlu meningkatkan aspek pelayanan, tidak hanya fokus pada penyediaan produk dan komoditas perikanan dan kelautan. Pendapatan negara akan bertambah jika kebaharian juga berfokus pada pengelolaan sehingga memberikan nilai tambah,” tuturnya kepada wartawan, Jakarta, Rabu (08/02).
BACA JUGA: 27 Juta Hektar Kawasan Konservasi Ditargetkan Jadi Destinasi Wisata Bahari
Selain itu, Susi juga meminta Kementerian Pariwisata agar bersama menata pelabuhan perikanan dan pasar agar dapat menjadi destinasi wisata bahari yang menarik. Ia juga ingin masyarakat, nelayan, dan pengusaha bahari diajarkan sikap yang baik untuk menarik hati pengunjung atau wisatawan.
“Wisata bahari ini seharusnya menghasilkan lebih banyak dari wisata darat. Contohnya Maldives. Maldives itu hanya pulau kecil saja, kira-kira sebesar pulau Nias, mungkin lebih besar pulau Nias, tapi hasilnya (sumbangan devisa) hampir sama dengan seluruh Indonesia. Padahal lautnya hanya sekitar pulau itu saja. Exclusive Economy Zone (EEZ) mereka juga tidak banyak jadi kita harus bisa meningkatkan services kita sehingga kita bisa seperti mereka,” ujarnya.
KKP dan Kementerian Pariwisata sendiri menargetkan, di tahun 2019 kontribusi wisata bahari terhadap total devisa Indonesia sebesar USD 4 miliar atau sekitar 20 persen. Meningkat empat kali lipat dari yang bisa disumbangkan tahun lalu.
BACA JUGA: Pengelolaan Tujuh Taman Nasional Laut Masih Dalam Otoritas KLHK
Kesepakatan bersama KKP dan Kementerian Pariwisata ini pun, lanjutnya, ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Badan Pengembangan SDMPKP dan Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan. Adapun fokusnya adalah pertukaran tenaga ahli, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan permagangan, serta pemanfaatan sarana prasarana.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menambahkan, penyebab kurangnya kontribusi wisata bahari di Indonesia antara lain adalah pendekatan keamanan/sekuritas yang terkendala regulasi. Misalnya, untuk masuk wilayah bentang laut Indonesia, pendatang atau wisatawan butuh waktu 21 hari, di saat negara lain seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia hanya butuh satu jam.
“Pendekatan yang kita lakukan adalah security (keamanan) bukan services (pelayanan), padahal pariwisata itu adalah services. Semua orang adalah wisatawan kecuali penjahat. Bukan semua orang penjahat kecuali wisatawan. Ini pendekatan yang sangat berbeda. Akhirnya salah satunya kita mencabut yang namanya Clearance Approval for Indonesian Territories (CAIT). Apa yang terjadi, kenaikan kita 100 persen dari yang hanya 750 yacht yang datang ke Indonesia tahun 2015, tahun 2016 sudah mencapai 1.500. Poinnya adalah hasil yang luar biasa pasti caranya tidak biasa,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih