Jakarta (Greeners) – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berharap Our Ocean Conference 2018 bisa menjadi ajang untuk melakukan pendefinisian ulang tata kelola laut lepas. Hal ini dikarenakan Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs) sebagai badan pemerintahan yang mengatur laut lepas tidak efektif dan tidak berjalan dengan baik. Selain itu, Susi juga melihat bahwa keadaan darurat sebuah negara bukan dari masalah politik atau ideologi namun perebutan sumber daya makanan.
“Adapun maritime security perlu disuarakan karena ke depan perang bukan lagi hanya perkara politik, ideologi atau agama, melainkan perebutan sumber air dan makanan yang keberadaannya di dunia semakin berkurang. Jadi tata kelola laut pun harus jelas, mana punya Indonesia dan mana milik orang lain,” kata Susi pada konferensi pers untuk Our Ocean Conference di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Rabu (17/10/2018) lalu.
Susi mengatakan bahwa saat OOC nanti Indonesia akan diberikan kesempatan untuk menyuarakan keberaniannya dalam membawa perubahan perikanan dengan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal ini bisa dibuktikan dengan membalikkan neraca perdagangan perikanan yang tadinya defisit dan terbelakang di Asia Tenggara, kini selama empat tahun belakangan menjadi yang pertama di Asia Tenggara.
“Hal itu diperoleh dengan apa yang sudah kita lakukan selama ini yakni IUU Fishing. Keamanan laut kita perkuat,” jelas Susi. Tantangan keamanan laut ini meliputi pencemaraan laut, bencana alam, perubahan iklim, imigran gelap, perdagangan ilegal, perampokan, dan konflik bersenjata.
BACA JUGA: Menteri Susi: OOC 2018 Akan Membawa Manfaat Ekonomi bagi Indonesia
Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa mengatakan, pada kurun waktu 2010-2014, sebanyak 1.690 serangan dan percobaan serangan bersenjata terjadi di laut sebagai konsekuensi dari pembajakan dan perampokan bersenjata, dan kerusakan yang disebabkan dari sampah plastik terhadap ekosistem laut senilai USD 11,6 miliar per tahun.
Selain itu, alih muat (transhipment) memiliki dampak yang buruk terhadap keberlanjutan stok ikan dan hak asasi manusia. Kegiatan alih muat memungkinkan terjadinya fish loundering (dari ikan yang ditangkap secara ilegal menjadi legal karena tercampur dengan ikan yang ditangkap secara legal).
“Alih muat juga memungkinkan penyelundupan senjata dan obat-obatan terlarang. Lebih dari 1/3 kapal angkut yang terdaftar di RFMO beroperasi menggunakan Flag of Convenience (FOCs) yang merupakan salah satu modus operasi IUU Fishing,” ujar Achmad saat ditemui Greeners di Depok, Selasa (23/10/2018).
Achmad mengatakan bahwa Menteri Susi sangat fokus pada pendefinisian ulang tata kelola laut lepas, karena laut lepas yang dikelola oleh RFMOs sebagai badan hukum pemerintahan tidak efektif dalam mengatasi, mencegah, dan menanggulangi kejahatan yang ada di laut termasuk illegal fishing. Penerbitan izin Flag Responsbilities juga tidak begitu efektif karena seharusnya bisa bertanggungjawab dan mengawasi kapal yang diberikan bendera tapi hal itu tidak terjadi.
“Karena itulah perlu didefinisikan ulang serta memberlakukan kebijakan pemberantasan IUU Fishing yang bisa dicontoh oleh negara lain yang menjadi gerakan bersama. Kapal asing yang tadinya beroperasi di Indonesia, sekarang mereka larinya ke mana? Oleh karena Bu Susi tidak mau memindahkan persoalan yang tadinya ada di Indonesia ke negara lain, jadi IUU Fishing ini harus disikapi dengan tegas oleh Regional Cooperation di negara-negara lain,” jelas Achmad.
BACA JUGA: Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2018, Tata Kelola Kawasan Pesisir Masih Semrawut
Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan pada awal tahun ini wilayah bagian Laut Cina Selatan yang merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sudah diubah menjadi Laut Natuna Utara. Pergantian nama tersebut didasari oleh dasar hukum konvensi kelautan.
“Kita menetapkan wilayah laut yang memang wilayah Indonsia dengan nama seperti itu. Kalau negara lain ada yang protes sah-sah saja terutama negara Cina karena Cina mengklaim 90% dari keseluruhan di wilayah laut Cina Selatan itu milik mereka. Padahal, ada bagian di laut Natuna utara berdasarkan konvensi hukum laut itu punya kita, dan kita punya hak untuk menetapkan laut itu sebagai zona laut eksklusif. Cina mengklaim 90% dari wilayah laut Cina Selatan sama sekali tidak mengacu hukum bahkan melanggar konvensi hukum kelautan,” ujar Hassan.
Maka itu, Indonesia perlu memastikan kalau wilayah laut aman dari institusi kapal-kapal asing ilegal di wilayah Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Sjarief Widjaja mengatakan bahwa diplomasi internasional sangat diperlukan. Keamanan laut untuk menjaga kedaulatan dan menghormati wilayah negara tetangga sangat dibutuhkan.
“Semua itu untuk mejaga stabilitas pasokan, suplai makanan laut, menjaga konsumsi ikan tetap terjaga supaya seluruh potensi sumber daya nasional bisa berlanjut untuk anak cucu kita,” tandas Sjarief.
Penulis: Dewi Purningsih