Aceh (Greeners) – Pengesahan qanun No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh masih mendapat pertentangan dari banyak pihak karena pengesahan qanun tersebut tidak hanya akan mengancam daerah resapan air, namun juga karena hutan Aceh merupakan benteng terakhir dari sumber biodiversity (keragaman hayati) termasuk juga dengan keberadaan habitat beberapa spesies hewan yang hampir punah di Sumatera.
Ditambah lagi, dalam rencana RTRW terbaru tersebut, beberapa kawasan lindung di kawasan Jantho seperti Taman Hutan Rakyat (Tahura), Hutan Suaka Margasatwa, dan Hutan Cagar alam akan dialihfungsikan sebagai kawasan wisata.
Pengesahan qanun RTRW tersebut juga membuat masyarakat pelindung hutan sebagai sumber air di kawasan Jantho menjadi risau. Karena apa yang sudah mereka lakukan selama ini akan menjadi sia-sia ketika hutan di Jantho dialihfungsikan.
Koordinator Forum Sayeung Krueng Kalok atau Forum Masyarakat Sayang Sungai Kalok (Forsaka), Eko mengatakan, sudah sejak tahun 2007 dirinya bersama dengan rekan-rekannya yang lain di Jhanto berusaha menyelamatkan daerah tangkapan air seluas 1700 hektar di krueng kalok. Ia juga mengaku kalau Forsaka sudah sejak lama menjadi benteng penjaga hutan khususnya di dekat daerah tangkapan air dari para perambah liar, termasuk masyarakat mereka sendiri.
“Saat masa rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh sedang berlangsung, 2006-2010, kebutuhan kayu sangat tinggi sebagai material bangunan guna membangun kembali Aceh yang hancur karena bencana tsunami pada akhir tahun 2004, nah sejak saat itu kegiatan perambahan hutan secara ilegal merajalela,” tutur Eko saat menerima kunjungan wartawan di Desa Jalin, Kecamatan Jhanto, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Jumat (31/10).
Para loger (perambah hutan ilegal) tersebut, terang Eko, merambah hutan di dalam kawasan perlindungan, seperti cagar alam, hutan lindung dan hutan suaka margasatwa juga ikut dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab. Ditambah adanya hutan tanam industri yang masyarakat sendiri tidak tahu izinnya datang darimana serta oknum aparat yang membekingi para perambah, membuat perambah semakin leluasa memotong hutan, tanpa harus takut berhadapan dengan peraturan perlindungan kawasan.
Saat itu, ungkap Eko, kegiatan perambahan hutan sudah mencapai batasan daerah tangkapan sumber air masyarakat desa membuat masyarakat menjadi resah. Singkatnya, kemudian beberapa tokoh masyarakat mendirikan Forsaka, tepatnya 26 Juli 2007, sebagai forum perlindungan sumber air dengan tujuan untuk menyatukan persepsi guna melindungi kawasan cagar alam yang ada di Jantho yang luasnya sekitar 16.640 hektar.