Jakarta (Greeners) – Umurnya sudah tidak lagi muda, garis usia menghiasi wajahnya yang masih kalut karena usahanya melindungi tanah adat berupa hutan kemenyan dirampas oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL). Pohon kemenyan yang telah berganti dengan pohon eucalyptus sejak tahun 2009 lalu, hingga kini menjadi mimpi buruk bagi masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
Rusmedia boru Lumban Gaol namanya. Dengan tubuh kurus dan terlihat renta, Opung Putra, panggilan adat untuk Rusmedia, tidak pernah menyerah untuk terus mempertahankan tanah adat yang telah ditinggali secara turun-temurun selama kurang lebih tiga ratus tahun dari para leluhur nya.
“Ini tanah warisan leluhur, akan kami pertahankan. Kami lebih baik mati daripada menjadi budak (bekerja di TPL),” cerita Rusmedia dengan mata berkaca-kaca. Ia ditemui Greeners pada acara peluncuran film Silent Heroes yang diadakan oleh Greenpeace di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (22/08).
Opung Putra bercerita tentang upaya-upaya kekerasan yang seringkali dilakukan oleh pihak TPL dengan menyebar berita bohong bahwa masyarakat desa telah melakukan tindakan melawan hukum karena menghalangi pekerjaan TPL yang akan menebang pohon kemenyan dan akan menanam pohon eucalyptus.
“Suami dan anak laki-laki aku di penjara hanya karena menjaga hutan kami, rumah kami dirusak, perempuan-perempuannya banyak yang disekap. Pendeta sekaligus tokoh adat kami juga ditangkap dan dipaksa tandatangan surat pengakuan,” lanjut Rusmedia dengan suara parau.
Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Suryati Simanjuntak yang sejak tahun 2009 mengadvokasi kasus ini menjelaskan, bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) sudah dua kali melakukan pemantauan ke lapangan. Dan, fakta temuannya telah menghasilkan rekomendasi dan mendesak pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan (Bupati) agar segera menerbitkan keputusan yang menyatakan bahwa penebangan kayu apapun di lokasi tersebut harus dihentikan sampai ada penyelesaian menyeluruh terhadap persoalan ini.
“Demikian halnya dengan Tim dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN), sudah 2 kali melakukan investigasi ke lapangan dan sudah memberi rekomendasi ke Kementerian Kehutanan agar areal milik dua desa ini dikeluarkan dari konsesi TPL maupun dari kawasan hutan Negara. Namun, hingga sekarang, belum ada tindak lanjut dari rekomendasi ini,” jelas Suryati pada kesempatan yang sama.
Yang terakhir, tambah Suryati, bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan juga sudah melakukan pemetaan untuk menentukan tapal batas. Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012, agar tanah/wilayah adat tersebut dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan Negara, sesuai dengan Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan.
“Tapi, tetap saja hingga sekarang, belum ada kejelasan dari pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan tentang hal ini,” pungkasnya.
(G09)