Jakarta (Greeners) – Sektor perikanan adalah sumber pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) pada tahun 2014 menyebutkan bahwa sektor perikanan berkontribusi sebesar 40 persen atau senilai USD 135 miliar dari total produk pangan yang paling diperdagangkan. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) pada September 2015 juga mencatat produk-produk perikanan yang paling banyak diperdagangkan adalah udang, salmon, tuna, ikan kod, cumi-cumi, gurita, dan kepiting.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA yang hadir dalam konferensi internasional bertajuk “Engaging the Seafood Industry in Social Development” di Annapolis, Maryland, Amerika Serikat, pada tanggal 21-22 September 2015 lalu menyatakan, dalam konteks rantai perdagangan ikan, mestinya pelaku perikanan skala kecil, khususnya perempuan nelayan, mendapatkan pengakuan atas peran dan kesejahteraannya.
Menurut Abdul, dewasa ini rantai perdagangan ikan dunia belum memihak masyarakat pelaku perikanan skala kecil, khususnya di negara-negara berkembang. Padahal, mereka berkontribusi sebesar 40 persen dari total produksi perikanan tangkap global (menurut catatan FAO tahun 2014). Apalagi banyak pemerintah di negara-negara berkembang yang notabene produsen perikanan belum sungguh-sungguh berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan kecil.
“Negara harus hadir di tengah kompetisi perdagangan ikan dan permintaan pasar terkait standar-standar baru, seperti keamanan pangan, bebas dari aktivitas merusak dan pelanggaran HAM yang kian ketat. Dengan kehadiran negara, nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan kecil akan sanggup bersaing dengan pelaku ekonomi di bidang makanan laut lainnya. Bahkan bisa memotong panjangnya rantai perdagangan ikan sehingga kualitas ikan lebih segar dengan harga lebih tinggi,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Sabtu (26/09).
Abdul Halim yang juga Koordinator Regional SEAFish for Justice (South East Asia Fish for Justice Network) ini juga memaparkan bahwa kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat perikanan skala kecil untuk terlibat dalam sistem perdagangan ikan di tingkat nasional dan internasional, disebabkan oleh ongkos produksi yang sangat tinggi, intervensi teknologi yang minim, harga jual ikan rendah, ketidakpastian status wilayah tangkap dan tambak atau lahan budidaya, serta keterbatasan dalam pendokumentasian hasil tangkapan atau budidaya yang bisa diakses konsumen.
“Dalam situasi inilah, dibutuhkan peran besar negara untuk memfasilitasi pelaku perikanan skala kecil dalam mengatasi permasalahannya, khususnya perempuan nelayan,” imbuhnya.
Menurut catatan Pusat Data dan Informasi KIARA per September 2015, tersedianya APBN-Perubahan 2015 sebesar Rp3.397,7 miliar di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dialokasikan di antaranya untuk: (1) Sistem informasi nelayan pintar untuk akses informasi cuaca wilayah tangkap dan pasar di 100 sentra nelayan; (2) pengembangan sistem logistik ikan melalui penyediaan 1 buah cold storage di setiap sentra perikanan; (3) penerapan cara budidaya ikan yang baik pada 8.200 pembudidaya ikan tersertifikasi; dan (4) penjaminan mutu benih unggul pada 465 unit pembenihan rakyat dan unit pembenihan lainnya.
“Setali tiga uang, pada tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan kembali mendapatkan sokongan anggaran sebesar Rp2.869,1 miliar untuk program peningkatan daya saing usaha dan produk kelautan dan perikanan. Semoga perhatian pemerintah terhadap nelayan kecil juga bertambah,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih