Dalam konteks sirkular ekonomi, konsep ini jika diimplementasikan akan menjadi sebuah solusi yang berkelanjutan, karena tidak hanya berbicara tentang penyelamatan lingkungan, namun juga penciptaan nilai tambah bagi ekonomi baru serta memiliki nilai tambah sosial dengan memberikan pemberdayaan bagi masyarakat.
“Yang terjadi di Indonesia jika EPR ini mau dilakukan karena semata-mata untuk menegakkan peraturan, karena EPR bentuknya semacam pungutan, kalau tidak mau dikelola oleh sebuah badan, maka industri harus mungutin sampahnya sendiri, bisa bayangin enggak itu, padahal sampah itu tidak lepas dari pemakainya juga. Kalau di negara yang sudah maju, konsumen sudah diwajibkan untuk memilah sampah dan sudah ada industri yang bisa menggunakan kembali atau mendaur ulang sampah tersebut. Nah cuma kalau infrastruktur tidak memadai, konsumennya juga belum punya pemahaman untuk memilah sampah, kemudian yang angkut sampah termasuk pengolahannya tidak tersegregasi, maka biaya pengelolaan sampah untuk memilah-milah ini luar biasa besar sekali. Jadi almost imposible (hampir tidak mungkin),” tegas Sinta.
Pengampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution berpendapat bahwa penggunaan kata produsen pada konsep EPR sebenarnya mendapat keberatan dari pihak produsen karena hanya membebankan masalah sampah pada produsen semata. Padahal, menurutnya, jika EPR diterjemahkan dalam peraturan perundang-undangan, konsep EPR tidak semata menekankan beban pada produsen semata. Ia pun beranggapan bahwa pencetusan konsep ESR hanya bentuk ketidaksenangan produsen pada penggunaan kata produsen (dalam EPR) sehingga merubahnya menjadi stakeholder.
Lebih jauh, ia mengakui bahwa ESR pun sebenarnya telah tercantum meski tidak tertulis di dalam Undang-Undang. Di sana, katanya, terdapat mekanisme re-sharing dimana ketika sebuah produk telah dikunsumsi oleh konsumen, maka secara tidak langsung, konsumen pun harus bertanggungjawab terhadap sampah hasil produk yang mereka konsumsi. Ia justru meminta kepada pemerintah untuk konsentrasi dalam membangun sistem dan infrastruktur karena menurutnya, saat produsen telah mencetuskan konsep ESR, maka sebenarnya, industri (manufaktur) sebenarnya telah siap dalam menerapkan konsep EPR dan menjalankan aturan perundang-undangan yang ada.
“Ini harusnya jadi signal bagi pemerintah kalau produsen sebenarnya sudah siap dan cukup paham mereka punya tanggungjawab terhadap produknya. Apapun namanya, mau ESR maupun EPR, ini saatnya pemerintah mengambil kebijakan untuk membenahi sistemnya. Jadi sebenernya produsen ini mau menyentil pemerintah secara halus,” tutupnya.
Penulis : Danny Kosasih