Jakarta (Greeners) – Konsep pengelolaan sampah melalui program perluasan tanggung jawab produsen (Extended Producer Responsibility/EPR) adalah konsep yang didesain untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan ke dalam proses produksi suatu barang sampai produk ini tidak dapat dipakai lagi, sehingga biaya lingkungan menjadi komponen dari harga pasar produk tersebut.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan R. Sudirman menjelaskan, di dalam pasal 12, 13, 14 dan 15 Undang-Undang (UU) 18/2008 tentang pengelolaan sampah telah secara tegas mengamanatkan peran dan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah. Pasal-pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi Pemerintah untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkannya, adalah salah satu sumber penghasil sampah.
“Di dalam Undang-Undangnya jelas tertera tanggungjawab produsen dalam pengurangan sampah, meski tidak secara harafiah disebutkan namanya itu EPR,” terangnya, Jakarta, Selasa ( 08/08).
Atas dasar UU inilah ia menegaskan bagi siapapun yang ingin membuat aturan lain terkait pengelolaan sampah, jelas harus merujuk pada aturan perundang-undangan yang ada. Hal ini disampaikan Sudirman untuk menanggapi konsep Extended Stakeholder Responsibility (ESR) yang dicetuskan oleh PRAISE (Packaging and Recycling Alliance for Indonesia Sustainable Environment), sebuah aliansi yang terdiri dari beberapa perusahaan besar penghasil produk dengan kemasan seperti PT COCA-COLA Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, PT Tetra Pak Indonesia, PT Tirta Investama dan PT Unilever Indonesia.
Sudirman sendiri menuding bahwa konsep ESR yang dicetuskan oleh aliansi perusahaan tersebut hanya untuk melepas atau membagi tanggungjawab produsen terhadap hasil sampah yang diproduksi. Padahal, menurutnya, telah jelas dituangkan dalam Undang- Undang bahwa seluruh produsen harus mengumpulkan kembali dan bertanggung jawab atas sampah dari produk mereka. Ia pun meminta ada perubahan perilaku dari produsen terkait dengan produksi sampah kemasannya dan produsen harus turut bertangung jawab akan hal tersebut.
“Nantinya Kementerian LHK akan menggunakan instrumen peraturan menteri (permen LHK) tentang pengurangan kantong plastik yang sedang disusun untuk juga mengatur produsen ini. Jadi jangan merubah-rubah aturan lah, nanti harus bikin peraturan lagi, itu kan lama,” tambahnya.
Sementara itu, konsep ESR diklaim sebagai konsep yang lebih besar dibandingkan konsep EPR. Perwakilan PRAISE yang juga General Manager Yayasan Unilever Indonesia, Sinta Kaniawati menjelaskan bahwa konsep ESR berbicara tentang tanggungjawab seluruh pemangku kepentingan mata rantai sampah dari mulai hulu hingga ke hilir, misalnya mulai dari industri plastik untuk kemasan plastik, manufaktur seperti Unilever, retailer, konsumen dengan kesadaran pemilahan sampah, pemerintah dengan kebijakan dan infrastrukturnya yang membuat mata rantai pemilahan sampah yang tersegregasi (pemisahan kelompok) hingga ke pemulung, pengangkut sampah bahkan industri daur ulang. Sehingga, semakin kecil kemungkinannya sampah yang harus dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).