Jakarta (Greeners) – Puluhan tahun menyelam di berbagai wilayah laut Indonesia, membuat para pegiat olahraga selam atau diving menyadari kerusakan laut semakin jelas. Kondisi tersebut terlihat dari biota laut seperti terumbu karang yang semakin punah akibat perubahan iklim. Ulah manusia yang tidak memiliki kesadaran dalam menjaga lingkungan juga turut menambah krisis.
Seorang penyelam wanita Raty Ning yang sudah lama sekali menggeluti dunia selam menyampaikan bahwa perbedaan terlihat gamblang ketika ia menyelam di tahun 90-an. Ia mengatakan pada masa itu kondisi laut Indonesia masih sangat bersih dan asri. Namun, memasuki tahun 2000-an, terutama di lima tahun terkahir ini, laut Indonesia sudah sangat tercemar dan rusak.
“Dulu terumbu karang itu masih bagus, jarak penglihatan juga bagus. Tapi sejalan dengan waktu terjadi kerusakan-kerusakan di bawah laut akibat eksploitasi manusia dan perubahan iklim. Jadi, bisa dilihat bahwa perubahan laut terjadi cukup signifikan pada 25 tahun terakhir ini,” ujar Raty pada diskusi daring “Our Ocean, Citizen Science for Marine Conservation” Selasa, (09/06/2020).
Baca juga: Produsen Didorong Lakukan Inovasi untuk Mengurangi Sampah Plastik
Penyebab rusaknya laut di Indonesia juga dipengaruhi oleh kunjungan turis atau wisatawan yang melebihi kapasitas. Menurut Raty, pengunjung maupun operator wisata masih banyak yang tidak menerapkan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) sehingga berakibat daerah wisata hancur.
“Pada saat sebelum terjadi pandemi, ada direct flight dari China sehingga banyak mendatangkan orang yang ingin diving dan snorkling. Sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan protokol keberlanjutan untuk daerah laut Bunaken,” ujarnya.
Era Baru, Saatnya Sustainable Tourism
Raty mengingatkan pemerintah khsusnya otoritas di daerah Labuan Bajo, Flores, untuk segera menerapkan sustainable tourism di kawasan tersebut. Labuan Bajo sangat terkenal dengan keindahan alamnya. Tidak hanya keelokan bawah laut bahkan pulaunya memiliki satwa yang hanya ada di Indonesia, yakni Pulau Komodo.
“Saya rasa dengan otonomi daerah, pemda mempunyai andil yang sangat besar untuk menjaga kawasan tersebut. Kita juga sebagai orang Indonesia yang berwisata di sana wajib untuk menjaganya. Jangan sampai terlambat hancur dan hilang lalu kita pindah ke tempat lain. Jika seperti itu terus tidak ada lagi wilayah laut Indonesia yang bersih dan asri,” ujar Raty.
Ia juga menyampaikan pariwisata bahari harus dimanfaatkan untuk menjaga daerah wisata dengan cara mengatur jumlah pelancong yang datang. Dengan adapatasi kenormalan baru yang mengharuskan menjaga jarak, kata dia, berarti jumlah manusia juga dibatasi. “Itu bisa dimanfaatkan untuk melindungi daerah tersebut sehingga kapasitas untuk menerima wisatawan mungkin bisa di angka 100 ribu per tahun agar tidak terjadi eksploitasi,” katanya.
Ancaman Terhadap Terumbu Karang
Keberadaan terumbu karang merupakan rumah bagi biota laut dan memiliki fungsi sangat penting bagi negara yang termasuk dalam kawasan Coral Triangle seperti Indonesia. Kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi tersebut menopang kehidupan dan mata pencaharian 120 juta orang yang tinggal di sekitarnya. Namun, ancaman terhadap terumbu karang semakin tinggi akibat penangkapan ikan yang berlebihan menggunakan bom dan racun ikan.
Rizya Ardiwijaya, Coral Reef Specialist di Yayasan Konservasi Alam Nusantara mengatakan Indonesia memiliki jumlah terumbu karang paling tinggi se-Asia Tenggara. Namun 98 persen terumbu karang berada dalam kondisi yang rentan terhadap gangguan. Selain itu, dari total luasan terumbu karang yang ada, hanya 6 persen saja yang masuk ke dalam kriteria dilindungi.
Baca juga: Hari Lingkungan Hidup: Jadikan Keanekaragaman Hayati Pilar Pembangunan
Menurutnya, penangkapan ikan yang memakai bom dan racun ikan akan memengaruhi terumbu karang. Kejadian tersebut, kata dia, masih sering terjadi di wilayah Indonesia Timur.
“Untuk menjaga terumbu karang ini, pemerintah sudah mencanangkan kawasan konservasi sebesar 20 juta hektare di 2020 dan melakukan perluasan 30 juta hektare hingga 2030 dengan mengurangi ancaman baik dari masyarakat maupun alam supaya bisa ditekan dan dikurangi,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani