Keputusan NU Mengelola Tambang Dianggap Jalan yang Keliru

Reading time: 5 menit
Ilustrasi tambang. Foto: Shutterstock
Ilustrasi tambang. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Presiden Joko Widodo memberikan kesempatan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang. Nahdlatul Ulama (NU) siap menjalankan tawaran tersebut. Namun, respons itu dianggap sebagai keputusan keliru karena bisa memperluas kerusakan lingkungan.

Salah satu Nahdliyin atau Anggota NU, Ahmad Rahma Wardhana mengatakan bahwa keputusan itu menjadi kabar yang mengecewakan karena tidak sesuai dengan prinsip NU.

“Di era transisi energi seperti sekarang, tentu saya tidak sepakat dengan keputusan ini karena bisnis tambang batu bara bukanlah opsi yang baik untuk dijalankan. Ada opsi yang lebih baik seperti mendorong transisi energi terbarukan, salah satunya PLTS. Padahal, ada opsi yang lebih bagus, tapi malah ke tambang. Ya, saya kecewa dengan ini,” ungkap Ahmad lewat sambungan teleponnya kepada Greeners, Senin (3/6).

BACA JUGA: Walhi Beberkan Indikasi Korupsi 12 Perusahaan Batu Bara di Sawahlunto

Menurut Ahmad, saat ini batu bara memang belum bisa dihindari sepenuhnya. Namun, bukan berarti NU ikut mendorong energi kotor tersebut. Semestinya, NU sebagai ormas keagamaan memiliki mindset bisnis yang lebih lestari dan tidak merusak alam.

“Karena banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa batu bara adalah kontributor emisi gas rumah kaca, hal ini termasuk yang disepakati oleh Intergovernmental Panel on Climate Change. Nah, itulah kenapa kami kecewa dengan keputusan ini,” tambah Ahmad yang sekaligus sebagai Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada.

Bertolak Belakang dengan Keputusan NU

Selain itu, NU juga memiliki fatwa dalam Keputusan Muktamar NU ke-29 tahun 1994. Fatwa tersebut menerangkan bahwa mencemarkan lingkungan, baik udara, air, dan tanah apabila menimbulkan dharar maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).

Dalam fatwa itu juga tertulis, apabila ada kerusakan lingkungan, maka wajib diganti oleh pencemar dan memberikan hukuman yang menjerakan terhadap pencemar. Apalagi, saat ini NU juga memiliki Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU). Lembaga yang NU buat itu menandakan bahwa NU akan berkontribusi dalam memitigasi bencana dan perubahan iklim.

Pada konteks energi, Keputusan Muktamar NU ke-29 tersebut juga telah diperkuat oleh fatwa Lembaga Bahtsul Masail PBNU di tahun 2017. Fatwa tersebut telah terbit dalam buku “Fikih Energi Terbarukan – Pandangan dan Respons Islam atas PLTS”. Salah satu kesimpulan buku ini adalah agar semua pihak memprioritaskan energi terbarukan, bukan energi fosil.

Dengan demikian, Ahmad pun menegaskan bahwa para internal NU sangat perlu mengkaji ulang keputusan tersebut. Sebab, keputusan NU yang mendukung bisnis tambang ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip NU.

BACA JUGA: Greenpeace Rilis Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang di Kalimantan Timur

“Sebenarnya suatu prinsip bagi orang NU itu ibarat tangan kanan mendukung lingkungan, tetapi ternyata tangan kirinya itu mendukung tambang yang jelas bisa berkontribusi terhadap perubahan iklim dan merusak lingkungan,” tegas Ahmad. 

Padahal, bisnis pertambangan sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Namun, sayangnya, isu tentang perubahan iklim masih sulit semua orang pahami. Sebagian besar dari mereka juga belum menyadari ada dampak yang sangat besar dari perubahan iklim ini.

“Pada 5-10 tahun ke depan, dampak kerusakan lingkungan bernama perubahan iklim semakin terasa. Sehingga, salah satu solusinya harus sedikit demi sedikit melepaskan diri ketergantungan batu bara, kami yang NU malah beda sendiri,” ujarnya.

Anggota NU, Ahmad Rahma Wardhana mengatakan keputusan NU untuk mengelola tambang menjadi kabar yang mengecewakan karena tidak sesuai dengan prinsip NU. Foto: Istimewa

Anggota NU, Ahmad Rahma Wardhana mengatakan keputusan NU untuk mengelola tambang menjadi kabar yang mengecewakan karena tidak sesuai dengan prinsip NU. Foto: Istimewa

NU Perlu Mengkaji Ulang Pengelolaan Tambang

Databooks melansir bahwa berdasarkan data Global Energy Monitor, tambang batu bara di Indonesia menghasilkan emisi metana sebanyak 58 juta ton CO2e20 per tahun. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara penghasil metana terbesar ke-8 di dunia, meskipun produksi batu bara Indonesia adalah yang terbesar ke-3 di skala global.

Apabila dalam lima tahun ke depan NU sepakat untuk mengelola bisnis tambang, NU bisa kehilangan kemampuan besar dan kritisnya dalam mengawal agenda nasional dan dunia guna mengurangi berbagai dampak negatif ketergantungan pada batu bara.

“NU perlu mengkaji lebih serius sebelum memutuskan keterlibatannya dalam pertambangan batu bara. Masih ada waktu lima tahun untuk mengambil atau tidak mengambil kesempatan ini. Jadi, kita semua memiliki waktu untuk bersama-sama mendesak ormas keagamaan agar menolak konsesi tambang,” ujar Ahmad.

NU Siap Kelola Tambang

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024. Regulasi tersebut merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

PP No.25 tahun 2024 telah Jokowi tetapkan pada 30 Mei 2024. Pemerintah menyisipkan pasal 83A yang mengatur tentang penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada ormas.

Bunyi pasal 83A ayat 1 menyatakan, “Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.”

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan, pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan dari pemerintah merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar tujuan mulia dari kebijakan itu sungguh-sungguh tercapai.

“Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber-sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasi yang lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut,” ujar Gus Yahya.

Gus Yahya juga mengungkapkan, kebijakan konsesi tambang bagi ormas keagamaan merupakan langkah berani Presiden Joko Widodo untuk memperluas pemanfaatan sumber daya alam bagi kemaslahatan rakyat.

Menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, dalih bahwa tambang bisa mendorong kesejahteraan bagi ormas keagamaan juga omong kosong. JATAM mengingatkan, bahwa pertambangan itu padat modal dan padat teknologi. Ekonomi tambang pun sangat rapuh dan tidak berkelanjutan.

“Saat ini, jumlah izin tambang di Indonesia mencapai hampir delapan ribu izin, dengan luas konsesi mencapai lebih dari sepuluh juta hektar. Dalam operasionalnya, tambang tak hanya melenyapkan ruang pangan dan air, serta berdampak pada terganggunya kesehatan, tetapi juga telah memicu kematian,” ungkap Melky.

Di Kalimantan Timur, misalnya, telah menelan korban tewas 49 orang, mayoritas anak. Namun, kasus-kasus ini dibiarkan begitu saja tanpa penegakan hukum.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan dalih bahwa tambang bisa mendorong kesejahteraan bagi ormas keagamaaan adalah omong kosong. Foto: Istimewa

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan dalih bahwa tambang bisa mendorong kesejahteraan bagi ormas keagamaan adalah omong kosong. Foto: Istimewa

Tanggapan Muhammadiyah

Sementara itu, Muhammadiyah pun ikut menanggapi terkait tawaran pengelolaan tambang untuk ormas.  Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa hal itu merupakan wewenang pemerintah.

“Kemungkinan ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis karena harus memenuhi persyaratan,” jelas Mu’ti.

Mu’ti mengatakan, sampai saat ini tidak ada pembicaraan pemerintah dengan Muhammadiyah terkait dengan kemungkinan pengelolaan tambang.

“Kalau ada penawaran resmi pemerintah kepada Muhammadiyah akan dibahas dengan seksama,” jelas Mu’ti.

Mu’ti juga menekankan bahwa Muhammadiyah tidak akan tergesa-gesa dan mengukur kemampuan diri. Hal itu supaya pengelolaan tambang tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan juga negara.

Di samping itu, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu, M. Din Syamsuddin menyampaikan bahwa pemberian tambang batu bara yang dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil menjadi penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.

“Pemberian tambang ‘secara cuma-cuma’ kepada NU dan Muhammadiyah berpotensi membawa jebakan,” ujarnya.

Sebagai warga Muhammadiyah, Din mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dan Presiden Joko Widodo itu. Menurutnya, pemberian izin usaha tambang itu lebih banyak mudharat daripada maslahatnya.

“Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa (problem solver), bukan bagian dari masalah (a part of the problem),” ungkapnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top