Jakarta (Greeners) – Masyarakat Indonesia akan mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten pada 27 Juni 2018 mendatang. Oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, pilkada dinilai memperburuk krisis sosial ekologis karena momen ini dimanfaatkan untuk menerbitkan berbagai izin tambang dan perkebunan.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah mengatakan, masyarakat sangat dirugikan oleh mutu dan kualitas demokrasi di Indonesia. Menurutnya, saat ini isu atau tema yang diangkat oleh para kader tidak berhubungan dengan krisis sosial ekologi di masyarakat. Oleh karena itu, Jatam mendorong isu dampak pertambangan dibicarakan untuk kebaikan sumber daya alam dan masyarakat.
“Masyarakat yang mengetahui apa yang terjadi di lapangan, seperti nelayan yang tidak bisa melaut karena ada kapal dan tambang hisap, masyarakat tidak bisa bersawah atau bertani karena sumber airnya dirusak oleh pertambangan batu bara, masyarakat tidak bisa mendapatkan sumber air bersih karena kawasan karsnya ditambang oleh penambang batu gamping dan seterusnya. Jadi kami melihat bentang politik inilah yang merusak bentang alam,” ujar Merah kepada Greeners usai diskusi Ijon Politik Pilkada Melanggengkan Krisis Sosial Ekologis, Jakarta, Rabu (14/03/2018).
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Batalkan Relaksasi Ekspor Mineral
Merah melanjutkan, Kabupaten Dairi di Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah berbukit-bukit yang rawan akan bencana longsor dan berada dalam pengaruh patahan Renun yang rawan gempa. Namun, sekitar 23,37 persen wilayah Kabupaten Dairi dikaveling oleh 36 konsesi pertambangan.
“Padahal Dairi telah dikenal oleh dunia karena kenikmatan kopi Sidikalang-nya yang menjadi ikon kabupaten Dairi. Sektor pertanian memberikan sumbangsih ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan sektor tambang. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor tambang tercatat hanya 0,09 persen, sedangkan sektor pertanian sebesar 59 persen,” terang Merah.
Berdasarkan data Jatam ada 170 izin di berbagai wilayah yang sedang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu 1 IUP Operasi Produksi di Riau, 3 IUP di Sumatera Selatan, 3 IUP Pasir Laut di Lampung, 1 IUP di Kalimantan Barat, 34 IUP di Jawa Barat, 120 IUP di Jawa Tengah, 3 IUP di Nusa Tenggara Timur, 4 IUP di Sulawesi Tenggara, dan 1 IUP di Papua.
Merah mengingatkan, pada Pasal 1 PP No. 1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dinyatakan bahwa perpanjangan bagi IUP Operasi Produksi mineral logam atau batubara yang habis masa berlakunya paling cepat 5 tahun atau selambat-lambatnya 1 tahun sebelum habis masa berlaku IUP Operasi Produksi.
“Artinya, jika dibiarkan ini adalah pelanggaran hukum dan potensial menjadi sumber pembiayaan kandidat di tahun politik,” katanya.
BACA JUGA: Pengendalian Tambang Rakyat Ilegal, KLHK Kembangkan Pasar Ekologis
Dikeluarkannya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, menurut Merah, mempermudah penetapan wilayah tambang, penyiapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang tertutup tidak terbuka, pengumuman lelang diperpendek hanya 1 bulan untuk mempercepat investasi, dan luas WIUP kurang dari 500 hektare lelang dibuka pada asing, yang sebelumnya dalam Permen ESDM No.28/2013 lebih dari 5.000 ha.
“Munculnya regulasi-regulasi baru yang mempermudah izin dikeluarkan menjadi modus dan menguasai sumber daya alam agar mudah dijual untuk sponsor politiknya. Seharusnya tidak ada pemberian izin-izin di tahun politik ini di berbagai wilayah, karena ini potensial menjadi komoditas untuk pembiayan politik pilkada,” kata Merah.
Perebutan kekuasaan juga membuat semakin panjang daftar kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mencatat, sepanjang 2010-2018 terdapat 242 kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Bahkan dalam rentang Januari-Februari 2018 saja, telah ada 8 kepala daerah yang ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan 5 di antaranya mencalonkan diri pada Pilkada 2018.
Penulis: Dewi Purningsih