Jakarta (Greeners) – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati membeberkan pekerjaan rumah (PR) dunia untuk mewujudkan laut yang aman di Forum PBB. Ia menyebut terdapat kesenjangan yang cukup lebar antarnegara dalam mewujudkan cita-cita laut yang aman untuk seluruh dunia. Kesenjangan tersebut terbagi dua, yaitu teknis dan non teknis, namun saling berhubungan dan berkaitan erat.
Hal tersebut Dwikorita sampaikan saat menjadi pembicara kunci pada Sesi 3 Plenary, Safe and Predicted Ocean dalam UN Ocean Decade Conference di Barcelona, Spanyol baru-baru ini. Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita memaparkan presentasinya di depan perwakilan negara-negara dunia berjudul Gaps and Strategies For Safe and Predicted OCEAN.
“Kesenjangan ini harus kita persempit. Ini pekerjaan rumah seluruh negara-negara di dunia,” ungkapnya.
Dwikorita menerangkan, kesenjangan yang dia maksud terkait kerangka hukum dan mekanisme kelembagaan. Dalam hal ini, ada banyak negara yang gagal menerapkan pertukaran data antarlembaga ataupun antarnegara. Bahkan, tidak ada kerangka hukum untuk Multi-Hazard Early Warning Systems (MHEWS).
BACA JUGA: Hadapi Perubahan Iklim, BMKG Tekankan Pentingnya Data Kelautan
Kesenjangan kedua terkait prasarana pengamatan dan sistem pemantauan. Menurut Dwikorita, jaringan observasi masih manual. Kemudian, masih terbatasnya anggaran untuk otomatisasi pemantauan dan transmisi data.
Kesenjangan ketiga terkait prakiraan dan prediksi numerik yang belum dapat terlaksana karena keterbatasan kapasitas SDM dan ketersediaan sarana prasarananya. Keempat, dalam hal peramalan berbasis dampak, banyak negara dalam prakiraan dan peringatan tidak memiliki informasi, terutama mengenai potensi bahaya dan kerentanan wilayahnya.
Kelima, dalam hal pengamatan data, yakni kurangnya data observasi khususnya di lautan. Keenam, terkait layanan peringatan dan multi-hazard early warning systems. Banyak negara tidak memiliki kapasitas mumpuni untuk memperkirakan bahaya kumulatif dan dampaknya yang berjenjang.
“Dari aspek non teknis, saya melihat perlunya untuk memastikan bahwa early warning dapat menyentuh dan dipahami hingga ke last mile,” katanya.
Perlu Strategi Mengatasi Kesenjangan
Sementara itu, Dwikorita menambahkan terdapat sejumlah strategi untuk mempersempit jurang kesenjangan tersebut. Di antaranya membangun aliansi jaringan dengan berbagai pihak mulai dari akademisi, lembaga penelitian, antarpemerintah, maupun kemitraan pemerintah dan swasta.
Strategi selanjutnya yaitu dengan memperkuat konteks lokal bagi komunitas di daerah terpencil. Perlu juga pelibatan sektor swasta untuk mempercepat tercapainya early warning system for all (EW4ALL) secara cepat, tepat, akurat, mudah dipahami dan direspons, serta luas jangkauannya.
BACA JUGA: VCA: Libatkan Kelompok Rentan dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Dwikorita juga menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi kesenjangan dalam aspek teknis dan non teknis. Pada aspek teknis, Dwikorita menyodorkan solusi dengan target memberikan peringatan yang tepat waktu, dapat diandalkan, akurat, dapat dipahami, dan dapat ditindaklanjuti.
Hal tersebut dapat terwujud dengan pengamatan sistematis dan berkesinambungan. Lalu, memperkuat sistem berbasis komunitas lokal yang ada serta sistem terintegrasi (berbasis kolaboratif) dan pertukaran data.
“Sedangkan untuk kesenjangan non teknis, solusinya dengan target untuk memastikan respons dini dapat masyarakat lakukan. Hal ini dapat tercapai dengan komunikasi risiko melalui pendidikan komunitas, meningkatkan literasi kebencanaan masyarakat, dialog, kemitraan pemerintah-swasta, dan sebagainya,” pungkas Dwikorita.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia