Kenapa Ramadan Bisa Terjadi Dua Kali dalam Setahun pada 2030?

Reading time: 2 menit
Ramadan akan terjadi dua kali dalam satu tahun pada 2030. Foto: Freepik
Ramadan akan terjadi dua kali dalam satu tahun pada 2030. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Fenomena unik akan terjadi pada Ramadan tahun 2030. Bulan suci ini akan terjadi dua kali dalam satu tahun. Penyebabnya adalah perbedaan panjang antara tahun matahari (kalender Masehi) dan tahun lunar (kalender Hijriah).

Menurut Guru Besar Fisika Teori IPB University, Husin Alatas, tahun Masehi memiliki panjang 365,24 hari. Sementara, tahun lunar dalam kalender Hijriah hanya 354,36 hari. Perbedaan sekitar 10,88 hari inilah yang menyebabkan pergeseran dalam kalender lunar.

Dengan perbedaan ini, tanggal 1 Ramadan dalam kalender Hijriah dapat terjadi dua kali dalam satu tahun matahari. Berdasarkan perhitungan, fenomena ini akan terjadi pada tahun 2030. Awal Ramadan akan berlangsung pada dua tanggal yang berbeda dalam tahun tersebut.

Husin juga menjelaskan, dalam fisika besaran waktu merupakan sebuah misteri yang hingga kini belum dapat terungkap penjelasannya secara memadai. Tampaknya juga tidak akan pernah bisa.

BACA JUGA: Tetap β€œHijau” saat Berbuka Puasa? Tentu Saja Bisa!

β€œMeskipun demikian, bagi manusia, waktu merupakan sesuatu yang nyata, yang terasa melalui kehadiran perubahan di semua aspek kehidupan. Termasuk perubahan yang terkait dengan fenomena alam tertentu,” ucap Husin melansir Berita IPB, Sabtu (5/4).

Untuk mengukur waktu, ilmuwan sering menggunakan fenomena periodik di alam. Salah satu cara yang paling presisi adalah dengan menggunakan jam kisi optik yang memanfaatkan transisi frekuensi optik pada atom-atom seperti Ytterbium, Strontium, atau Aluminium. Sistem ini memungkinkan pengukuran waktu yang sangat akurat, yang kini digunakan dalam berbagai penelitian ilmiah.

Ramadan akan terjadi dua kali dalam satu tahun pada 2030. Foto: Berita IPB

Ramadan akan terjadi dua kali dalam satu tahun pada 2030. Foto: Berita IPB

Peran Gerak Periodik Bulan

Secara tradisional, penentuan waktu juga bergantung pada gerak periodik bulan, yang digunakan dalam penentuan waktu tahunan dan pergantian bulan, seperti dalam kalender Hijriah. Gerak bulan terbagi menjadi dua jenis, yaitu gerak sideral dan sinodik.

Gerak sideral mengukur waktu berdasarkan posisi bulan terhadap objek tetap di langit. Misalnya, bintang dengan periode sekitar 27,32 hari. Sementara itu, gerak sinodik untuk menentukan fase bulan, seperti bulan baru, sabit, dan purnama, memiliki periode sekitar 29,53 hari.

Perbedaan antara periode sideral dan sinodik terjadi karena selain mengorbit Bumi, bulan juga mengikuti orbit Bumi mengelilingi Matahari. Perbedaan ini memengaruhi fase-fase bulan yang kita amati, yang menjadi dasar dalam perhitungan kalender lunar.

BACA JUGA: Kiat-kiat Mengontrol Asupan Makanan saat Berbuka Puasa

Ketika bulan berada dalam fase baru, ia berada sejajar dengan Matahari dan Bumi (konjungsi). Hal ini menyebabkan fenomena hilal, yaitu cahaya tipis yang terlihat di awal bulan baru.

Namun, terlepas dari fenomena bulan baru tersebut, penetapannya dalam kalender Hijriah dapat dilakukan melalui dua cara. Di antaranya perhitungan analitik-matematis yang bersifat prediktif (hisab) dan observasi yang bersifat faktual (rukyat).

β€œPerlu direnungkan bahwa keduanya pada hakikatnya merupakan fondasi utama sains modern saat ini, yakni prediksi dan observasi,” ujar Husin.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top