Jakarta (Greeners) – Tingginya prevalensi perokok di Indonesia masih menjadi tantangan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah dinilai perlu membuat mekanisme pungutan pajak melalui cukai rokok untuk mengendalikan konsumsinya.
Haula Rosdiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia menilai bahwa harga cukai rokok yang saat ini ditetapkan oleh pemerintah tidak membuat prevalensi perokok menurun. Angkanya bahkan naik dari tahun ke tahun. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat, prevalensi merokok mencapai 33,8 persen dan 62,9 persen di antaranya didominasi perokok laki-laki. Angka tersebut tidak berubah sejak 2001.
Baca juga: Menteri Edhy Siap Diaudit Atas Kebijakan Ekspor Benih Lobster
“Begitu juga pengeluaran belanja rumah tangga, justru lebih besar dikeluarkan untuk membeli rokok dibandingkan untuk membeli beras per bulan. Hal ini dikarenakan harga rokok masih terjangkau bahkan menunjukkan tren semakin terjangkau jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,” ujar Profesor Haula pada webinar “Cukai Rokok Sebagai Alat Pengendalian Konsumsi Rokok di Era “New Normal” Senin, (07/20/2020).
Ia mengatakan idealnya kenaikan tarif cukai berdampak pada kenaikan penerimaan negara atas hasil tembakau. Namun harus diikuti dengan penurunan angka konsumsi merokok. Regulasi pemerintah tentang cukai, kata dia, semestinya memiliki tujuan mengendalikan konsumsi rokok tanpa dicampuri produktivitas penerimaan negara.
Menurutnya, cukai rokok dapat menjadi salah satu instrumen fiskal yang bermanfaat untuk menurunkan prevalensi perokok. Penerimaan pajak dari cukai rokok, kata dia, harus digunakan untuk kegiatan yang dapat mengurangi dampak konsumsi rokok atau kepentingan kesehatan lain seperti penanganan wabah Covid-19. “Cukai merupakan salah satu bentuk indirect on consumption (konsumsi secara tidak langsung) yang dibebankan pada konsumen dan otomatis akan berpengaruh terhadap harga,” ujarnya.
Haula merekomendasikan untuk meningkatkan tarif cukai rokok secara signifikan agar harga rokok tidak terjangkau oleh masyarakat miskin dan anak-anak. Menurutnya pemerintah juga perlu memperkuat kebijakan pengendalian konsumsi rokok melalui pengaturan iklan, penetapan kawasan tanpa rokok, pengaturan penjualan rokok terutama bagi kelompok rentan, dan kampanye untuk berhenti merokok.
Baca juga: Menteri Edhy Siap Diaudit Atas Kebijakan Ekspor Benih Lobster
Kenaikan cukai rokok dinilai menjadi strategi yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok terutama dalam mengatasi masalah kualitas sumber daya manusia di Indonesia. “Dari sisi pendidikan, dengan semakin sedikitnya perokok anak, maka diharapkan produktivitas mereka semakin meningkat dan dapat mengejar ketertinggalan,” ucapnya.
Sedangkan dari sisi kesehatan, ia menjelaskan bahwa penurunan jumlah perokok akan menghilangkan faktor risiko penyakit tidak menular. Hal tersebut, kata Haula, akan menjadi modal bagi generasi muda Indonesia untuk lebih produktif. “Penurunan penyakit tidak menular akan mengatasi permasalahan tingginya biaya kesehatan di Indonesia,” kata dia.
Diperlukan Kebijakan yang Komprehensif
Sementara itu Pande Putu Oka, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa cukai merupakan satu sarana untuk meningkatkan kesehatan masyarakat sekaligus penerimaan negara terhadap konsumsi barang yang berdampak negatif.
Ia mengatakan untuk menurunkan prevalensi perokok diperlukan kolaborasi berbagai pihak, sebab, kebijakan tidak hanya berdasar pada cukai. Menurutnya, perlu disusun suatu peta jalan yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak. “Bukan hanya untuk mengatasi permasalahan jangka pendek, namun juga sebagai acuan kebijakan jangka panjang yang mengakomodasi banyak pihak,” ucapnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani