Jakarta (Greeners) – Kementerian Pertanian menyebut stok pangan aman selama bulan Ramadan terutama saat pandemi Covid-19. Menurut pemerintah, cadangan pangan cukup untuk tiga bulan ke depan. Ada tiga pilihan pendekatan dalam skema pangan nasional yang disiapkan, yakni optimistis, moderat, dan pesimistis. Ketiganya didasarkan dengan menilik keadaan lahan maupun aspek distribusi ke masyarakat.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan, dari neraca pangan nasional surplus cadangan kurang lebih 3,5 juta ton. Pada kurun Februari hingga Mei lahan persawahan mampu memproduksi 12,4 juta ton beras. Jika ditambah stok di Badan Urusan Logistik (Bulog) dan di penggilingan, kata Syahrul, total stok beras menjadi 15 juta ton.
“Dari neraca pangan nasional sebenarnya cukup bagus, terkendali baik, dan cukup tersedia,” kata Mentan Yasin dalam telekonferensi yang dipantau melalui Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Minggu, (26/04/2020).
Baca juga: Laju Deforestasi di Indonesia Masih Tinggi
Dengan skema optimistis, kata dia, terdapat stok 15 juta ton beras nasional dari bulog dan penggilingan. Ia menuturkan, jika kebutuhan beras masyarakat 7,6 juta ton lebih di kurun Februari-Mei, akan ada sisa stok 7,4 juta ton lebih.
Sementara dengan pendekatan moderat, Ia menyebut dari 3,5 juta ton cadangan pangan yang ada, jika skema kemampuan produksi beras turun 4 persen dari stok 12,4 juta ton, sisanya sebesar 11 juta ton lebih. Sedangkan, apabila kebutuhan beras naik menjadi 7,6 juta-7,9 juta ton, sisa stok berasa di kisaran 7 juta ton pada akhir Mei.
Kemudian melalui pendekatan pesimistis, kata Yasin, dengan stok 3,5 juta ton, produksi 11,2 juta ton, dan kebutuhan beras nasional 8,3 juta, maka akan tersedia sisa stok 6 juta ton hingga akhir Mei 2020.
“Kalau begitu bulan puasa dan Idul Fitri dalam kendali aman. Data sudah kami validasi sampai ke daerah. Kita masih yakin sampai tiga bulan ke depan ketersediaan beras dari gabah dan penggiling serta panen raya ini masih bisa mencukupi kebutuhan,” ujar Yasin.
Kementan juga memantau sebelas komoditas pangan dasar lain, seperti beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi, daging ayam, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng. Kesebelas bahan pangan tadi, kata dia, juga dalam kondisi aman dan terkendali.
“Ada tiga komoditi yang diitensifkan dan diupayakan oleh semua pihak. Pertama, bawang putih karena kita masih impor. Kedua, gula pasir juga masih impor, tapi setidaknya sudah ada 250 ribu yang tersedia. Ketiga, daging sapi agak terlambat di beberapa negara importir karena kebijakan lockdown,” ujarnya.
Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengatakan angka yang disebut Mentan Yasin termasuk jumlah di penggilingan dan hasil panen raya. Padahal di setiap musim, kata Said, cadangan pangan dan serapan pemerintah terhitung kecil.
“Betul bahwa kita akan aman tiga hingga empat bulan ke depan, tapi bagaimana dengan September sampai panen lagi musim depan? Situasi rawannya justru di sana. Rawan bagi pemenuhan pangan pokok masyarakat di perkotaan,” ujarnya kepada Greeners.
Baca juga: JAAN: Satwa Liar Bukan Hewan Peliharaan
Ia menuturkan, pemenuhan cadangan pangan bisa dengan menggerakan stok beras yang ada di pedagang penggilingan dan pasar. Namun, Said mempertanyakan rantai pasok yang macet di pengecer ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar dilakukan. “Belum lagi seberapa siap pemerintah menanggulangi mafia distribusi pangan,” kata dia.
Menurutnya, pemerintah seharusnya menyerap sebanyak mungkin beras dari hasil panen saat ini, di samping juga menyelamatkan petani di situasi pandemi. Jika serapan bulog macet dan jalur distribusi masih terkendala, Said mengatakan akan berimbas pada turunnya harga.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan harga Gabah Kering Panen (GKP) turun lima persen. Hal tersebut, kata Said, juga terjadi di sektor hotikultura, buah-buahan, perikanan, dan peternakan. Petani dan produsen pangan lain juga menanggung situasi ketidakpastian di tengah pandemi Covid-19 yang menyebabkan pendapatan berkurang. Risikonya, kata dia, mereka akan kehabisan modal untuk musim dan tahun selanjutnya. Akibatnya, produksi akan sulit diandalkan dan dalam jangka panjang akan memicu terjadinya krisis pangan.
“Saat ini harga terus turun karena rantai pasok mandeg. Jika tidak cepat direspons sangat berat beban produsen pangan,” ujar Said.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani