Jakarta (Greeners) – Klaim bahwa penyakit Monkeypox disebabkan oleh efek samping vaksin COVID-19 telah beredar di media sosial. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa Monkeypox bukan efek samping dari vaksin COVID-19.
Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, menjelaskan bahwa Monkeypox dan COVID-19 adalah dua penyakit yang berbeda. Mpox telah ada jauh sebelum munculnya SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan vaksin COVID-19. Menurut informasi dari World Health Organization (WHO), kasus Mpox pada manusia pertama kali dilaporkan di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970.
“Mpox dan COVID-19 ini dua penyakit yang berbeda. Penyakit Mpox sudah ada sejak tahun 1970, sebelum COVID-19 muncul. Mpox adalah endemik di Afrika Barat dan Tengah seperti di Afrika Selatan, Pantai Gading, Kongo, Nigeria, dan Uganda,” jelas Syahril dalam keterangan tertulis, Selasa (3/9).
BACA JUGA: Cegah Monkeypox, Hentikan Pelihara Satwa Liar!
Syahril menambahkan, penyakit Mpox terus ada di wilayah endemiknya meskipun tidak sporadis. WHO menyatakan status ‘Kedaruratan Kesehatan Masyarakat’ yang menjadi ‘Perhatian Internasional’ (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) untuk Mpox pada 23 Juli 2022. Indonesia mencatat satu kasus konfirmasi pada waktu itu, namun pada 11 Mei 2023, WHO mencabut status kedaruratan tersebut.
Pada 14 Agustus 2024, WHO kembali menyatakan Mpox sebagai PHEIC menyusul peningkatan kasus di Afrika Tengah dan Barat, terutama di Republik Demokratik Kongo dan beberapa negara di Afrika. WHO juga telah melaporkan adanya kasus Mpox pada negara-negara lain di luar Afrika.
Monkeypox dan COVID-19 Tak Berkaitan
Menilik sejarah kemunculan Monkeypox yang jauh sebelum pandemi COVID-19, Syahril menegaskan bahwa penyakit tersebut tidak ada kaitannya dengan efek samping vaksin COVID-19.
“Jadi, penyakit Mpox ini tidak dapat dikatakan karena efek samping dari vaksin COVID-19. Itu tidak ada hubungannya,” tegasnya.
Virus Mpox (MPXV), yang termasuk dalam spesies genus Orthopoxvirus, menyebabkan Mpox. Ada dua clade virus MPXV: Clade I (dengan subclade Ia dan Ib) dan Clade II (dengan subclade IIa dan IIb). Clade Ia dan Ib memiliki manifestasi klinis yang lebih berat daripada Clade II.
Pada periode 2022–2023, strain Clade IIb menyebabkan wabah Mpox global. Saat ini, Clade Ia dan Ib menyebabkan peningkatan kasus di Republik Demokratik Kongo dan negara-negara lainnya.
Risiko Penularan Mpox
Mohammad Syahril mengingatkan bahwa penularan virus Mpox antarmanusia dapat terjadi melalui kontak langsung. Berdasarkan laporan kasus konfirmasi Mpox global, sebagian besar kasus terjadi pada Lelaki yang Berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL). Namun, kelompok masyarakat di luar LSL juga dapat mengalami kasus Mpox, termasuk anak-anak yang memiliki kontak erat dengan seseorang yang terinfeksi virus Mpox.
“Mpox ini penyakit yang menular melalui kontak langsung, berupa berjabat tangan, bergandengan, termasuk kontak seksual. Dalam laporan kasus Mpox di negara-negara di dunia, memang banyak terjadi pada laki-laki. Hampir 96 persen laki-laki dan 60 persennya LSL,” terang Syahril.
Namun, lanjutnya, ada juga kasus di luar kelompok tersebut, sehingga orang lain juga dapat tertular. Mpox bisa menyerang siapa saja, termasuk anak-anak jika mereka tinggal bersama orang tua atau asisten rumah tangga yang positif virus Mpox. Penularan dapat terjadi melalui benda-benda yang terkontaminasi seperti sprei, sarung bantal, dan handuk.
BACA JUGA: 88 Kasus Monkeypox Terkonfirmasi di Indonesia
Merujuk informasi “Frequently Asked Questions (FAQ) Mpox” yang Kemenkes RI terbitkan pada 2024, penularan virus Mpox juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh seperti nanah atau darah dari lesi kulit orang yang terinfeksi.
Kelompok yang paling berisiko terkena Mpox adalah mereka yang serumah atau memiliki riwayat kontak. Kelompok itu termasuk kontak seksual dengan seseorang yang terinfeksi. Orang yang melakukan kontak seksual dengan banyak pasangan dan sering berganti-ganti pasangan berisiko tinggi tertular Mpox.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia