Kembali Menjabat, Sri Mulyani Jangan Tunda Lagi Penerapan Pajak Karbon

Reading time: 2 menit
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Kemenkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Kemenkeu

Jakarta (Greeners) – Terpilihnya kembali Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan dalam Kabinet Merah Putih membuka kesempatan baginya untuk menerapkan kebijakan fiskal yang progresif. Terutama dalam mendukung transisi energi dan mendorong penerapan pajak karbon pada PLTU batu bara yang sudah tertunda dua kali.

Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya, mengungkapkan Sri Mulyani perlu mendorong berbagai kebijakan kunci. Ia harus meningkatkan royalti batu bara serta memberikan insentif bagi energi bersih dan terbarukan. Selain itu, Sri Mulyani juga perlu memengaruhi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar mengeluarkan PLTU batu bara dari kategori transisi.

“Lima tahun ke depan merupakan periode penentu bagi percepatan transisi energi untuk kepentingan mitigasi krisis iklim, memperkuat ketahanan energi, dan menciptakan akses energi yang inklusif,” ungkap Tata lewat keterangan tertulisnya, Senin (21/10).

BACA JUGA: Menteri Keuangan Sri Mulyani Tetapkan Tarif Cukai Plastik

Menurut Tata, kebijakan fiskal harus mempertimbangkan dampak negatif dari energi fosil, seperti batu bara. Selain itu, kebijakan juga perlu menilai dampak positif dari energi bersih terbarukan dengan menerapkan insentif dan disinsentif yang berarti.

Sri Mulyani sebelumnya merencanakan penerapan pajak karbon pada April 2022. Namun, hingga saat ini, aturan tersebut belum juga berlaku. Pemerintah masih terus menyiapkan payung hukum dan mengkaji regulasi ini. Penerapan pajak karbon sangat dinanti dan penting untuk mengurangi emisi karbon.

Jangan Anggap PLTU sebagai Transisi

Sementara itu, OJK memasukkan PLTU sebagai pembangkit listrik bertenaga batu bara ke dalam kategori transisi dalam Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Pembangkit ini dianggap dapat mendukung proses transisi menuju pembangunan rendah karbon.

Berdasarkan jumlah emisi yang berasal dari hulu ke hilir, lanjut Tata, OJK tidak seharusnya memasukkan pembangkit listrik batu bara sebagai bagian dari transisi.

Menurutnya, pemerintah semestinya hanya mendukung pembangkit yang bersumber dari energi bersih dan terbarukan, seperti tenaga surya dan angin. Keduanya merupakan contoh energi yang dapat mewujudkan pembangunan rendah emisi.

“Jika PLTU tetap dianggap sebagai transisi, hal ini berpotensi menjadi greenwashing. Artinya, pembangkit ini akan tetap beroperasi dengan peluang yang kecil untuk dikurangi,” tambah Tata.

Selain itu, bahan bakar batu bara juga perlahan mulai dicampur dengan bahan bakar dari tanaman. Contohnya sawit dan wood pellet, melalui format co-firing. Konsep co-firing ini tidak akan mengurangi emisi. Bahkan, dapat menambah skala dan kompleksitas masalah, serta berpotensi memperburuk deforestasi untuk keperluan transisi energi versi pemerintah.

Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya. Foto: Istimewa

Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya. Foto: Istimewa

Berdasarkan data PLN, sebanyak 43 PLTU batu bara telah melakukan uji coba co-firing sepanjang tahun 2023 dengan memanfaatkan 1 juta ton biomassa. PLN berencana untuk memperluas co-firing pada 52 PLTU batu bara pada tahun 2025. Perluasan itu membutuhkan 10,2 juta ton biomassa dengan persentase campuran biomassa sebesar 10 persen dan 90 persen batu bara.

Sementara itu, Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia memperkirakan kebutuhan biomassa untuk co-firing pada PLTU dalam skenario unconditional mitigation mencapai 9 juta ton.

Trend Asia memperhitungkan bahwa rencana co-firing tersebut akan membawa risiko perluasan deforestasi Indonesia. Jumlah deforestasi itu bisa mencapai 2,3 juta hektare dengan produksi emisi gas rumah kaca sekitar 26 juta ton. Jumlah tersebut setara dengan emisi 5 gigawatt PLTU.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top