Jakarta (Greeners) – Jenis kemasan produk kini semakin kompleks dan beragam. Material kemasannya juga semakin sulit untuk didaur ulang. Hal ini akan menjadi sebuah tantangan dalam pengelolaan sampah.
Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutasurya mengatakan kemasan makanan umumnya bersifat multilayer. Hal itu untuk meningkatkan shelf life (umur penyimpanan) dan kepentingan branding.
“Karena sifat ini tidak mungkin didaur ulang. Kalaupun ada yang melakukan upaya daur ulang, sifatnya downcycling atau false solutions seperti ecobrick, batako dari plastik,” kata David kepada Greeners, Senin (30/10).
BACA JUGA: Tahun 2029, Kemasan Produk Wajib Ramah Lingkungan
False solution ini umumnya hanya menunda pembuangan plastik ke alam. Bahkan, membuat penanganan sampah plastik tersebut lebih sulit. David menilai, perkembangan kemasan semakin didominasi oleh material yang kompleks.
“Misalnya, menggunakan kemasan yang sama-sama plastik, tetapi plastik yang bening (yang masih mungkin didaur ulang) lebih tidak mendukung kepentingan branding daripada yang multilayer. Isunya dengan masuknya kemasan multilayer dimulai dari perusahaan multinasional, pengusaha lokal juga ikut-ikutan karena harus bersaing,” ucap David.
Padahal, lanjut David, dahulu branding hanya dengan menggunakan kertas saja yang terpisah dari kemasan plastiknya.
AZWI Dorong Sistem Reuse
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yang salah satu anggotnya adalah YPBB juga mendorong perubahan sistem delivery produk dengan sistem reuse (guna ulang). Hal itu tentu perlahan-lahan akan digencarkan dan memulihkan dari sistem yang awalnya menggunakan kemasan sekali pakai.
“Mendesaknya isu polusi plastik mengharuskan kita segera melakukan reuse. Sayangnya, sekarang pemerintah baru mendorong produsen mengubah kemasannya, dari yang tidak bisa daur ulang menjadi bisa daur ulang,” tambah David.
Pendekatan ini, lanjut David, selain tidak ambisius juga tidak implementatif di lapangan, mengingat Indonesia sangat luas. Sehingga, daur ulang yang menyeluruh akan terhambat oleh beban logistik atau transportasi.
BACA JUGA: Yuk, Beralih ke Kemasan Makanan Ramah Lingkungan!
Apalagi, plastik adalah material yang mudah terbakar. Hal itu terlihat dari kebakaran puluhan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) akibat tingginya gas metan dari sampah organik. Selain itu, penumpukan sampah plastik di TPA juga menyebabkan kebakaran semakin meluas.
“Persoalan terbesar dari plastik yang terbakar adalah emisi berbagai jenis gas beracun dari oksidasi bahan kimia yang terkandung di dalam plastik (dioksin, furan, NOX). Lalu, abu yang tersisa mengandung logam berat, misalnya dari pigmen untuk menghasilkan warna cerah,” imbuh David.
David menambahkan, lebih sulit untuk mencegah terjadinya pencemaran ke alam daripada plastik yang tersimpan di TPA dalam keadaan utuh.
KLHK akan Berikan Reward
Sebagai regulator, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pemerintah daerah berwenang untuk mengawasi (monitoring). Hal itu tertuang dalam pelaksanaan penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
“KLHK dan pemda dapat mengawasi untuk melihat kemajuan pelaksanaan pengurangan sampah di lapangan. Selain pengawasan, KLHK dan pemda juga berwenang memverifikasi laporan tahunan produsen. Hal ini dalam bentuk verifikasi dokumen maupun verifikasi faktual di lapangan,” kata Vinda.
Hal ini bertujuan guna memastikan laporan tersebut benar adanya. Pemberian reward pun sudah tercantum dalam Permen LHK No 75 Tahun 2019 melalui pemberian insentif dalam bentuk penghargaan, publikasi kinerja baik, dan bentuk lainnya.
“Kami terus melakukan diseminasi, fasilitasi, dan pendampingan bagi para produsen untuk melaksanakan Permen LHK No 75 Tahun 2019. Tidak hanya sekadar mendorong perubahan kemasan saja. Kami juga selalu mempromosikan dan mempublikasikan inisiatif baik para produsen. Sehingga, ini bisa menjadi model bagi produsen yang lain,” ujar Vinda.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia