Jakarta (Greeners) – Penanganan barang sitaan ilegal yang masuk ke Indonesia tidak boleh gegabah. Salah penanganan dan pemusnahan hanya akan menimbulkan masalah baru bagi manusia dan lingkungan.
Bea Cukai menjadi instansi yang berwenang melakukan penindakan dan penanganan tersebut. Melansir website Bea Cukai, pemeriksaan mereka lakukan dengan tujuan memastikan bahwa barang kiriman tersebut bukan impor yang dilarang atau telah memenuhi kewajiban ijin pembatasannya.
Belum lama ini, Bea Cukai menyita 41,2 ton daging kerbau asal India yang Indonesia impor dari Malaysia. Daging ini merupakan hasil penindakan impor tanpa dokumen kepabeanan lengkap di Kuala Sungai Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Bea Cukai memusnahkannya dengan membawa daging tersebut ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Bantan, Riau. Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan tumbuhan, dengan cara membakar, menghancurkan, mengubur, dan atau cara pemusnahan lainnya.
Namun sayangnya, sebagian masyarakat menggali dan mengambil daging yang sudah tercampur sampah lain di TPA. Berdasarkan video yang beredar, warga terlihat berbondong-bondong berebut daging kerbau di tumpukan sampah TPA.
Koordinator Media dan Penegakan Hukum Walhi Riau, Ahlul Fadli menilai, berdasarkan kondisi di lokasi tidak ada penanganan khusus untuk penimbunan ini. Dengan begitu, masyarakat masih bisa mendapatkan daging tersebut.
“Kasus ini kita perlu pelajari pedoman turunannya apakah sudah sesuai prosedur atau tidak dengan menimbun. Jika melihat dari kondisi di lokasi memang tidak ada penanganan khusus untuk penimbunan,” kata Ahlul kepada Greeners baru-baru ini.
Barang Ilegal Membahayakan Kesehatan
Daging sitaan yang teronggok berjam-jam di TPA berpotensi menularkan penyakit bagi masyarakat yang memakannya. Ada risiko kesehatan seperti terkontaminasi bakteri, keracunan, dan menyebabkan kematian bagi anak-anak hingga lansia.
Daging impor ini juga membawa risiko penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) dan memiliki implikasi luas bagi sektor ekonomi peternakan dan kesehatan hewan.
Selain itu, menurut Ahlul, ketimpangan ekonomi menjadi salah satu penyebab fenomena yang terjadi di Riau ini. Meskipun di wilayah ini ada aktivitas pertambangan, pertanian, dan perdagangan, kondisi tersebut tidak masyarakat rasakan langsung.
Kejadian ini harus menjadi perhatian khusus kepala daerah untuk menjaga kualitas lingkungan yang sehat bagi masyarakat. Ia berharap, pemerintah lebih gencar memberikan ruang bagi masyarakat untuk mandiri memenuhi kebutuhan pangan bagi keluarga yang kekurangan gizi.
Maggot Menjadi Solusi
Sementara itu, Ketua Asosiasi Black Soldier Fly Indonesia, Agus Pakpahan berpendapat, daging kerbau yang ilegal ini seharusnya bisa digunakan untuk pengembangbiakan maggot atau belatung.
“Kalau daging termasuk yang sudah membusuk, bisa dimakan maggot BSF. Ini adalah aspek biologis. Mau sampah atau bukan sampah, maggot bisa makan daging,” ungkap Agus.
Saat ini maggot merupakan solusi terbaik untuk mengurangi sampah organik. Hewan kecil tersebut bisa mengurai sampah organik dan hasil penguraiannya dapat digunakan sebagai pakan ternak, yang kini populer dimanfaatkan oleh masyarakat.
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : Ari Rikin