Jakarta (Greeners) – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah disusun oleh pemerintah diharapkan dapat melindungi satwa liar dari kejahatan korporasi pada lingkungan hidup.
Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu mengatakan, upaya mendefinisikan tuntutan dari generasi masa depan terkait dengan hak lingkungan termasuk perlindungan terhadap spesies lain, seharusnya masuk dalam ruang lingkup politik perlindungan lingkungan. Hal ini bisa dilakukan salah satunya dengan pembaruan hukum pidana.
“Untuk perlindungan satwa liar ada dua rancangan regulasi yang saat ini ada di tangan DPR, yakni UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya lalu RKUHP yang di dalamnya menyangkut perlindungan satwa liar. Tujuan dari rancangan dan revisi tersebut adalah adanya penguatan pidana bagi siapa saja yang melanggar hukum terkait perlindungan satwa liar,” ujar Erasmus pada Dialog Kebijakan Publik Pengarusutamaan Perlindungan Satwa Liar dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Jakarta, Rabu (30/05/2018).
BACA JUGA: 4 Pelaku Pembantaian Beruang Madu di Riau Segera Disidangkan
KUHP merupakan peninggalan kolonial Belanda dan menjadi tulang punggung sistem hukum pidana Indonesia. Menurut Erasmus, upaya untuk memperbarui KUHP yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR sejak tahun 2015 merupakan momentum untuk mengembalikan dasar sistem hukum pidana di Indonesia.
“Perubahan KUHP membawa empat misi utama yaitu dekolonisasi, rekodifikasi, demokratisasi dan harmonisasi hukum nasional. Berdasarkan pandangan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, keempat misi tersebut belum tercapai dalam proses pembahasan perubahan KUHP yang telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR,” ujar Erasmus.
Ditemui di acara yang sama, anggota panitia kerja (Panja) RKUHP dari Komisi III DPR RI Taufiqulhadi mengatakan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah dikeluarkan sebelum era reformasi. Namun demikian, menurut Taufiqulhadi, UU tersebut sepenuhnya dibuat karena reaksi internasional yang sangat hebat atas terjadinya pembunuhan dan perburuan terhadap satwa liar secara besar-besaran.
“Pada saat itu diketahui bahwa modal, dalam hal ini keterkaitan dengan korporat dan ekonomi, adalah segala-galanya. Jadi, walaupun ada UU tapi tumpul. Banyak orang yang mengkritik UU No. 5/1990 maksimum penjara hanya 5 tahun dan denda 200 juta padahal kerusakan yang disebabkan mencapai miliaran rupiah, jadi tidak sebanding. Maka itu kita perbaiki di RKUHP ini,” kata Taufiq.
BACA JUGA: KKP Selamatkan Benih Lobster Senilai Rp150 Miliar
Menurut Taufiq kejahatan pada satwa liar ada di peringkat ketiga sebagai kejahatan yang kerap terjadi di Indonesia setelah kejahatan narkotika dan perdagangan orang. Menurut data yang dihimpun oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), nilai transaksi dari kejahatan satwa liar kurang lebih mencapai Rp13 triliun per tahun.
“Dari ketentuan yang ada dalam RKUHP tersebut maka kejahatan utama (core crime) satwa liar adalah menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati masih belum diatur. Saat ini RKUHP sedang kami proses di DPR,” kata Taufiq.
Kejahatan pada satwa liar ini sedikit banyak dilakukan oleh korporasi yang ingin memiliki keuntungan besar dari sumber daya alam Indonesia. Maka itu, pada RKUHP ini juga dibahas tentang pertanggungjawaban kejahatan korporasi pada lingkungan hidup.
“Dulu tidak ada dibicarakan masalah korporasi, tapi sekarang ini yang melakukan perusakan lingkungan dan kejahatan kepada satwa liar akan dipidana. Hukumnya akan kita atur di KUHP ini,” jelas Taufiq.
Taufiq menjelaskan, ketentuan-ketentuan umum tentang korporasi di atur dalam Buku I RKUHP Pasal 52 hingga Pasal 57. Adapun sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 55 RKUHP, yaitu a) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pertanggungjawaban pidana
dibebankan hanya kepada korporasi itu sendiri; b) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus; c) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pertanggungjawaban dibebankan kepada keduanya, yaitu kepada korporasi dan pengurus.
Penulis: Dewi Purningsih