Jakarta (Greeners) – Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisinya sebesar 29 persen di bawah proyeksi bisnis seperti biasa (business as usual) pada tahun 2030 dan 41 persen dengan bantuan asing. Dalam menjalankan target penurunan emisi ini, keterlibatan 34 provinsi menjadi sangat penting, khususnya dalam hal inventarisasi data penurunan emisi guna merancang target-target adaptasi dan mitigasi.
Deputi II, Kantor Staf Presiden (KSP), Yanuar Nugroho menyatakan, meskipun ke-34 provinsi tersebut memiliki porsi tanggung jawab yang besar dalam target penurunan emisi, sayangnya sedikit sekali yang bisa diketahui masyarakat tentang usaha penurunan emisi di provinsi-provinsi tersebut.
Menurut Yanuar, informasi yang dapat diakses tentang aksi iklim dan data terkait emisi di tingkat sub-nasional masih sangat terbatas. Bahkan ketika data sudah tersedia, seringkali format yang diberikan tidak memungkinkan untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Keterbatasan data ini membuat publik menjadi sulit untuk memahami bagaimana provinsi seharusnya mengambil tindakan untuk mengurangi emisinya.
“Bangsa ini belum terbiasa dengan data. Evidance-based policy making yang masih rendah membuat banyak kebijakan yang dibuat di Indonesia masih belum memanfaatkan atau diambil berdasarkan basis data,” katanya dalam acara bincang-bincang bertajuk “Peran Data dalam Perubahan Iklim” di Jakarta, Senin (06/06).
BACA JUGA: WWF Internasional: Perubahan Iklim Mulai Masuk Dalam Agenda Politik Dunia
Presiden Republik Indonesia, lanjut Yanuar, telah menunjukkan komitmen dan keseriusannya mengenai pentingnya akses ketersediaan data di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dari akan diterbitkannya Peraturan Presiden tentang open data atau Kebijakan Data Satu Pintu yang akan ditandatangani pada tahun 2017 mendatang.
Setidaknya ada tujuh Kementerian Lembaga yang terlibat dalam Perpres Kebijakan Data Satu Pintu ini, yaitu Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Riset dan Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Platform Interaktif untuk Data Iklim (Pindai)
Melihat begitu simpang siurnya data pelaporan emisi dari provinsi, World Resources Institute Indonesia (WRI Indonesia) meluncurkan Platform Interaktif untuk Data Iklim (Pindai) atau Indonesia Climate Data Explorer (Cait Indonesia). Platform ini memungkinkan pengguna untuk menelusuri, membandingkan dan meningkatkan pemahaman akan emisi dan komitmen iklim dari 34 provinsi di Indonesia.
Tjokorda Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia, menyatakan bahwa Pindai menggunakan data resmi dari Pemerintah Provinsi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Badan Pusat Statistik. Ia berharap Pindai dapat mendorong pemerintah, termasuk pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas lingkungannya.
“Pindai ini memungkinkan pengguna untuk memantau kemajuan tahunan yang dilaporkan baik di tingkat provinsi maupun nasional berdasarkan data yang telah tersedia dari pemerintah. Misalnya, berdasarkan data yang dilaporkan pada tahun 2013, Indonesia baru mencapai 2,25 persen saja dari keseluruhan target penurunan emisi gas rumah kaca di tingkat provinsi,” katanya.
BACA JUGA: Isu Perubahan Iklim Masih Dianggap Isu Tingkat “Dewa”
Berdasarkan data resmi dari Pemerintah Indonesia, Sumatera Utara berada di urutan pertama sebagai provinsi penghasil emisi tertinggi tahun 2010 dibandingkan provinsi lainnya. Riau, Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Lampung menyusul di peringkat lima teratas penghasil emisi tertinggi dengan sumber emisi bervariasi.
Jika dilihat dari emisi per kapita dan intensitas emisi atau pengukuran emisi provinsi berdasarkan populasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) provinsi, maka Papua dan Kalimantan Tengah berada di tingkat penghasil emisi tertinggi.
Penulis: Danny Kosasih