Jakarta (Greeners) – Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap energi fosil menjadi satu pertimbangan yang membuat pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi terhambat. Setidaknya begitulah yang diutarakan oleh Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Sony Keraf saat dijumpai oleh Greeners pada “Seminar Kedaulatan Energi Dalam Perspektif KEN dan RKP Pemerintah Jokowi-JK Guna Meningkatkan Energi Terbarukan”.
Menurutnya, ketergantungan energi fosil tersebut juga memengaruhi harga atau tarif subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengakibatkan rencana energi terbarukan menjadi tidak menarik dan kemampuan pemerintah hanya sebatas memfasilitasi pengembangan energi terbarukan tersebut.
“Kita tahu negara kita ini salah satu dari negara yang sangat boros energi dan sudah seharus EBT ini diperhatikan,” ujar Sony, Jakarta, Senin (22/12).
Selain itu, kordinasi lintas sektor serta koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga turut memberikan kontribusi pada terhambatnya rencana-rencana energi terbarukan di Indonesia. Padahal, UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi sebenarnya sudah jelas memberitahu kemana seharusnya arah energi nasional berjalan.
Lebih lanjut, Sony juga menerangkan, bahwa ada beberapa prinsip utama dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang harus berjalan hingga kurun waktu 2025 mendatang. Prinsip tersebut, antara lain melakukan perubahan paradigma pengelolaan energi menjadi modal pembangunan nasional, memperioritaskan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta melakukan pengurangan impor energi fosil secara bertahap dan ketergantungan pada impor energi.
“DEN juga harus bisa mengarahkan subsidi pada energi baru dan terbarukan hingga nantinya subsidi tersebut akan dihilangkan secara bertahap sampai kemampuan daya beli masyarakat tercapai,” terangnya.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Hendrik Siregar, menyampaikan, bahwa permasalahan mendasar saat ini adalah bagaimana memenuhi kebutuhan energi nasional sementara sumber energi nasional selalu menjadi komoditi bisnis.
Seperti yang terlihat dalam pengurusan energi nasional dalam 10 tahun terakhir, lanjutnya, Indonesia seperti menjadi negara yang mensubsidikan energi nasionalnya ke negara lain, bukan hanya pada sektor energi sekundernya saja namun juga energi primernya.
“Ada yang aneh di sini karena dalam kontrak Trans Asean Gas Pipeline kita adalah negara penyuplai energi ke negara-negara Asean. Namun hal ini sangat ironis karena negara kita sendiri selalu mengalami krisis energi. Banyak sekali pulau-pulau kita di Indonesia yang belum teraliri listrik,” tuturnya.
Hendrik juga mengatakan bahwa proses untuk memperoleh energi tersebut pun seringkali mengabaikan faktor keselamatan warga serta keberlangsungan lingkungan hidup di tempat energi tersebut diperoleh. Ia pun mengakui, ada persoalan tersendiri terhadap isu ketahanan pangan dan lingkungan hidup jika keadaan eksploitasi pertambangan batubara masih terus mengancam lahan masyarakat.
(G09)