Jakarta (Greeners) – Pada tahun 2015, El Nino yang berkepanjangan menyebabkan munculnya titik api di hutan sekitar Stasiun Riset Tuanan, Kalimantan Selatan. Kebakaran pun tak dapat dihindari. Akibatnya, sekitar 18.000 hektar lahan di Program Konservasi Mawas terbakar.
Program Konservasi Mawas merupakan sebuah program rancangan Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS), yaitu sebuah organisasi nonpemerintah yang melindungi 309.860 hektar hutan yang dihuni oleh sekitar 3.000 orangutan liar beserta keanekaragaman endemik lainnya.
Dengan hilangnya 6 persen bagian, hutan konservasi yang terbakar tidak dapat menyediakan makanan bagi orangutan yang hidup di dalamnya. Hal tersebut membuat orangutan liar berpindah menuju bagian hutan yang lain untuk mencari tempat yang lebih aman.
BACA JUGA: Status Orangutan Menjadi “Sangat Terancam Punah”
Salah satu peneliti dari Yayasan BOS, Maria van Noordwijk, Phd., meneliti pola yang terbentuk dari migrasi tersebut. Menurut Maria, hal yang membuat respon orangutan terhadap kebakaran ini menarik adalah bahwa orangutan liar yang bermigrasi selalu berjenis kelamin betina.
“Orangutan betina liar yang ditemui lebih sering membawa anak. Awalnya, hal ini merupakan berita baik bagi kami karena orangutan betina memiliki peran penting bagi perkembangan perilaku anaknya,” kata Maria pada acara Seminar dan Diskusi Orangutan Tuanan Sebelum dan Sesudah Kebakaran di Universitas Nasional, Jakarta, Jumat (17/03).
Menurutnya, seperti halnya manusia, anak orangutan memerlukan panutan atau role model. Oleh karena itu, agar dapat bertahan hidup, anak orangutan akan mengikuti seluruh kegiatan yang dilakukan oleh induknya. Selain itu, anak orangutan juga butuh bermain sehingga mereka juga perlu berinteraksi dengan anak orangutan lainnya.
“Namun, kebakaran telah mengubah perilaku para orangutan betina liar domestik. Sejak api mengusir orangutan liar dari habitatnya, orangutan betina domestik tidak mau berinteraksi dengan orangutan betina lainnya. Hal ini disebabkan karena ketersediaan makanan yang terbatas dan perilaku alami orangutan betina yang hanya mau berinteraksi dengan kerabatnya,” ujar Maria.
BACA JUGA: Penembakan Orangutan Marak, Polri Diminta Perketat Pengawasan Senapan Angin
Padahal, interaksi tersebut dapat menjadi kegiatan bertukar informasi bagi sesama orangutan untuk dapat bertahan hidup. Maria menjelaskan bahwa orangutan betina memiliki area jelajah yang stabil. Hal ini berarti bahwa orangutan betina yang terusir sulit menemukan habitat yang baru. Bahkan, sejak tahun 2016, tidak sedikit orangutan betina yang menyerang satu sama lain untuk mempertahankan sarangnya.
Di samping itu, orangutan liar yang berpindah juga mengubah pola makannya. Pada dasarnya, orangutan merupakan pemakan buah. Namun, karena kelangkaan pohon buah di luar habitatnya, orangutan mulai mengonsumsi yang tersedia di hutan pasca kebakaran, yaitu buah ara, bunga akar kamunda hingga serangga seperti rayap.
Sebagai informasi, Maria van Noordwijk merupakan peneliti asal Belanda yang telah mempelajari perilaku orangutan di Indonesia selama lebih dari 40 tahun. Kepada Greeners, Maria menyatakan keprihatinannya terkait perubahan perilaku orangutan Tuanan sebagai respon dari kebakaran.
“Tanpa manusia, tidak akan ada fenomena pemanasan global sehingga tidak akan terjadi kebakaran hutan. Namun, karena hal ini sudah terjadi, kita harus melakukan sesuatu. Jika kita bertindak dengan cepat, maka kita dapat menghentikan sesuatu yang buruk untuk terjadi. Sama halnya dengan penebangan pohon. Tidak akan ada orangutan yang perlu kita selamatkan,” kata Maria.
Penulis: Ayu Ratna Mutia