Jakarta (Greeners) – Greenpeace Indonesia menyatakan agar industri perkebunan menanggulangi dan mengendalikan krisis asap dan kebakaran hutan dengan menerapkan Langkah-langkah penanggulangan api. Analisis Greenpeace Indonesia mengungkapkan penggundulan hutan dan pengeringan lahan gambut merupakan akar masalah dari krisis kabut asap dan kebakaran hutan. Oleh karena itu, rencana Presiden Joko Widodo untuk melindungi lahan gambut melalui peningkatan tata kelola hutan dan penegakan hukum dinilai sejalan dengan temuan ini.
Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyatakan bahwa tragedi kabut asap dan kebakaran hutan sudah berakar sejak puluhan tahun yang lalu dan kerusakan hutan dan lahan gambut tersebut justru dilakukan oleh perusahaan bubur kertas dan kelapa sawit.
“Data yang kita keluarkan mengindikasikan jumlah titik api paling banyak berada pada konsesi Asia Pulp & Paper (APP). Hal ini tidak mengherankan karena, Pertama, APP mempunyai total luas konsesi terbesar dengan warisan deforestasi yang besar, terutama di Sumatera bagian Selatan, wilayah konsentrasi kebakaran hutan. Kedua, APP adalah satu-satunya perusahaan yang telah mempublikasikan peta akurat mengenai konsesi-konsesi mereka, termasuk para pemasok mereka,” ujar Teguh, Jakarta, Kamis (29/10).
Ia menekankan bahwa perusahaan lain juga perlu dengan sukarela mengungkapkan data dan informasi yang sama. Hal ini bertujuan agar data kebakaran hutan dapat diketahui publik dan dapat menggambarkan betapa buruknya situasi kabut asap yang terjadi di seluruh perkebunan.
Transparansi informasi, lanjutnya, menjadi indikator penting untuk memerangi tidak hanya kebakaran hutan, namun juga korupsi yang terkait dengan sektor pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah sendiri, terusnya, mulai menunjukan itikad baik melalui rencana penerbitan data pemetaan komprehensif atau yang dikenal dengan Satu Peta. Namun, pemerintah justru menolak permintaan Greenpeace Indonesia untuk membuka data perizinan dan pengusahaan lahan kepada publik agar dapat dianalisa.
“Padahal perusahaan juga sangat sedikit yang mau membuka informasi terkait kepemilikan tanah dan konsesi yang memasok mereka,” ujarnya.
Pemerintah, katanya, juga berulang kali menolak mengungkap nama-nama perusahaan yang tengah diselidiki terkait krisis kabut asap dan kebakaran hutan. Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia menerbitkan daftar lengkap semua konsesi di Indonesia yang terbakar, termasuk jumlah titik api pada konsesi tersebut. Meski analisa Greenpeace didasarkan kepada data terbaik yang tersedia, namun hal tersebut tidak menjadi kelengkapan dan kemutakhiran data.
“Masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara tidak harus menanggung bencana asap kebakaran hutan seperti ini lagi. Industri bubur kertas dan kelapa sawit harus memastikan penghentian pembukaan hutan dan lahan gambut. Perusahaan yang abai dan masih merusak hutan dan lahan gambut harus bertanggung jawab langsung terhadap bencana kebakaran hutan dan kabut asap,” tegasnya lagi.
Sebagai informasi, Greenpeace menyatakan bahwa dari 112.000 titik api yang terdeteksi sejak 1 Agustus hingga 26 Oktober 2015, hampir 40 persen titik api tersebut ditemukan di dalam konsesi yang terpetakan sebagai tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan untuk penebangan dan pengembangan perkebunan. Dua puluh persen kebakaran berada di konsesi bubur kertas dan 16 persen dalam konsesi kelapa sawit.
Penulis: Danny Kosasih