Jakarta (Greeners) – Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia merupakan “puncak gunung es” dari permasalahan tata kelola lahan dan hutan di Indonesia. Hampir setiap tahun kebakaran lahan dan hutan ini. Bahkan intensitas dan luas cakupan kebakaran tidak ada perubahan secara signifikan.
Hasil studi Forest Watch Indonesia (FWI) pada tahun 2003 menunjukkan bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar hutan tidak terbatas pada Kalimantan dan Sumatera saja. Kebakaran juga dilaporkan terjadi di 23 dari 27 provinsi di Indonesia pada tahun 1997-1998.
Sejumlah besar kebakaran hutan yang terjadi di kedua pulau utama tersebut disebabkan oleh perusahaan perkebunan dan berbagai proyek pemerintah, hal ini berakibat terhadap lenyapnya puluhan ribu hektare hutan pada satu kesempatan saja (PKHI 2014).
Christian Purba, Direktur Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan bahwa bencana asap yang terus berulang menunjukan lemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola sumber daya alam. Selain itu, tidak adanya review dan audit perizinan, terutama pada lahan gambut yang selama ini terjadi proses pengeringan oleh konsesi perusahan, menjadi salah satu faktor utama penyebab bencana ini terjadi. Kejadian ini akan terus berulang ditahun-tahun mendatang apabila penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran masih lemah dan tidak menimbulkan efek jera.
“Luas kerusakan hutan akibat kebakaran, perambahan, pembalakan liar sepanjang 2014-2015 mencapai 10,5 juta Ha. Selain itu, lebih dari 60.000 orang menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Bencana kebakaran ini juga berpotensi mengundang bencana susulan yang lebih besar, seperti bencana ekologi serta bencana sosial,” jelas Christian seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Sabtu (17/10).
Lebih lanjut, Khusnul Zaini, Presiden dari organisasi Telapak, menyatakan bahwa pemerintah hingga saat ini terlihat masih belum mempunyai resolusi kebijakan jangka panjang untuk menangani kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi. Penanggulangan kebakaran yang ada masih berkutat seputar teknis pencegahan dan pemadaman kebakaran.
Menurut Khusnul, kasus kebakaran hutan di Indonesia merupakan masalah struktural pengelolaan sumber daya alam, yang hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan skema kebijakan, hukum, dan kelembagaan secara progresif.
“Anggaran yang mencapai Rp385 milliar yang disiapkan pemerintah tahun ini hanya dapat dibenarkan sebatas untuk menyelamatkan dan meminimalisir dampak lingkungan yang akan terjadi. Akan tetapi, tanpa ada intervensi di level kebijakan, hukum, dan kelembagaan, masalah kebakaran di Indonesia tidak akan pernah selesai secara permanen,” tambahnya.
Sebagai informasi, hasil riset World Resources Institute (WRI) dan Rights and Resources Initiatives (RRI) pada 2014 tentang Securing Rights, Combatting Climate Change yang dilakukan di 14 negara berhutan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia memperlihatkan bahwa negara yang memberikan hak hukum kepemilikan hutannya kepada masyarakat hukum adat dapat mengendalikan deforestasi jauh lebih baik ketimbang bila kepemilikan hutannya atas nama negara.
Di Indonesia, hasil analisis Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) menunjukkan bahwa dari 6,8 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan, sekitar 65,11% atau 4,4 juta hektar masih berupa hutan. Selain itu, hasil analisa spasial dari tumpang tindih Peta Indikatif Wilayah Adat (PIWA) dan kawasan hutan menunjukkan bahwa pengelolaan hutan secara lestari dan rehabilitasi hutan di wilayah adat dapat dilakukan di areal seluas minimal 54,7 juta hektar.
Penulis: Danny Kosasih