Jakarta (Greeners) – Kawasan konservasi sebagai benteng terakhir pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Namun sayangnya, pemerintah menganggap potensi pendapatan negara dari sektor pariwisata di wilayah konservasi masih minim.
Padahal, menurut Sekretaris Direktur Jendral (Sesditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novianto Bambang W, kawasan konservasi Indonesia sekitar 2,2 juta hektare dan memiliki 551 unit keunikan obyek dan daya tarik wisata alam. Selain itu, kawasan konservasi juga memiliki potensi 6,5 miliar meter kubik air dan 2.460 Megawatt potensi listrik dari panas bumi.
“Belum lagi dengan potensi 392, 68 juta ton karbon yang dihasilkan di kawasan konservasi,” tuturnya kepada Greeners di Musem Manggala Wanabhakti, KLHK, Jakarta, Kamis (25/02).
Menurut Novi, dari 17 Taman Nasional yang memiliki potensi panas bumi, Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki potensi yang paling besar. Taman nasional terbesar di Sumatera yang memiliki luas wilayah 13,750 km persegi ini memiliki potensi panas bumi sebesar 847,62 Megawatt.
Selain itu, kawasan konservasi juga memiliki potensi jasa lingkungan serta objek wisata alam yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Belum lagi nilai ekonomi konservasi yang tidak bisa dihitung seperti pengaturan air, nilai estetika, penyuplai oksigen, pengatur iklim mikro, nilai potensi kelangkaan, sumber plasma nutfah, nilai strategis pertahanan dan keamanan.
“Konservasi kita saat ini menjadi benteng terakhir pengelolaan hutan produksi yang telah lama dikelola. Apalagi, kawasan konservasi Indonesia cukup luas, terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya dan taman buru,” tambahnya.
Kepala Taman Nasional Gunung GedePangrango, Herry Subagiadi mengakui bahwa yang masih belum dimiliki oleh Indonesia adalah kekuatan dari sisi riset atau penelitian. Indonesia, lanjutnya, memiliki 51 Taman Nasional, 27 Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem serta 612 kawasan konservasi lainnya dalam bentuk kawasan maraga satwa dan lainnya.
Kelemahan dari sisi riset ini, jelasnya, membuat kawasan konservasi menjadi tidak berkembang. Sedangkan untuk mengungkap potensi- potensi manfaat keanekaragaman hayati atau yang dikenal dengan bioprospeksi, dibutuhkan tingkat penelitian yang tinggi.
Bioprospeksi merupakan upaya untuk mencari kandungan kimiawi baru pada makhluk hidup (baik mikroorganisme, hewan dan tumbuhan) yang mempunyai potensi sebagai obat-obatan atau untuk tujuan komersial lainnya. Bioprospeksi meliputi pemanenan, prosesing dan transformasi material biologi.
“Satu hal yang sangat penting yaitu penelitian sampai dengan saat ini Indonesia kalah dibidang itu. Riset kita ini tidak berkembang sementara di negara maju sangat berkembang karena kekuatan risetnya,” ungkap Herry.
Saat ini, yang bisa dilakukan oleh taman nasional yaitu meningkatkan potensi ekonomi dari sisi objek wisata alam, hasil hutan bukan kayu, energi panas bumi, dan lainnya.
Penulis: Danny Kosasih