Jakarta (Greeners) – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memenangkan gugatan yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Nasional Sago Prima (PT NSP) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Meranti di Riau yang terjadi pada 2015 lalu.
Dalam putusan tersebut, anak perusahaan dari PT Sampoerna Agro Tbk itu diharuskan membayar sekitar Rp 1.040 triliun oleh pengadilan. PT NSP dituntut oleh KLHK agar bertanggung jawab atas kerusakan ekologis dan ekonomis yang timbul dari aksi karhutla dalam kurun waktu 30 Januari 2014 hingga Maret 2014.
“Ini kemenangan besar kami atas keadilan untuk rakyat Indonesia,” kata Direktur Jendral Penegakan Hukum Lingkungan KLHK Rasio Ridho Sani di Jakarta, Jumat (12/08).
BACA JUGA: Walhi: Pencabutan Sanksi Perusahaan Pelaku Karhutla Kecilkan Penegakan Hukum
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Effendi Mukhtar menyatakan bahwa PT NSP selaku Tergugat terbukti telah lalai mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan seluas 3.000 hektare. Oleh karena itu, gugatan KLHK dikabulkan sebagian.
Pengadilan juga menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 319.168.422.500 dari tuntutan penggugat Rp 319.168.422.500, membayar biaya pemulihan sebesar Rp 753 miliar dari Rp. 753.745.500.000, membayar uang denda keterlambatan (dwangsom) sebesar Rp50 juta/hari dari tuntutan dalam gugatan sebesar Rp50 juta serta menanggung biaya perkara sebesar 462 ribu rupiah.
“Rincian kerugian ekologis antara lain untuk biaya penyimpanan air, pembuatan dan pemeliharaan reservoir, biaya pengendalian erosi, pemeliharaan limbah, biaya daur ulang unsur hara, keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik,” jelas Rasio atau akrab disapa Roy.
Dari tuntutan yang diajukan, majelis hakim menolak gugatan pemerintah sehubungan dengan sita aset jaminan milik Tergugat. Pertimbangan majelis hakim tersebut didasarkan pada tiga aspek, yaitu terjadinya pencemaran lingkungan di Kepulauan Meranti, adanya kerusakan sarana dan prasarana milik publik dan tidak adanya izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) milik PT NSP.
BACA JUGA: Permen LHK Nomor 32 Tahun 2016 Perkuat Pencegahan Karhutla
Di sisi lain, PT NSP mengeluarkan keterangan tertulis terkait putusan hakim tersebut. Dalam keterangannya disebutkan kalau putusan yang diambil oleh PN Jaksel tidak mempertimbangkan alat-alat bukti serta pendapat ilmiah dari para ahli yang diajukan di persidangan yang semuanya mematahkan tuduhan dari Penggugat. Putusan hanya berdasarkan pada bukti-bukti dan asumsi yang lemah yang diajukan oleh Penggugat.
Hal ini terbukti dengan adanya Dissenting Opinion dari Majelis Hakim dimana salah satu hakim yang berkompetensi dalam permasalahan lingkungan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan Majelis Hakim.
“Saat ini kami sedang mempertimbangkan langkah selanjutnya yang akan kami tempuh, termasuk kemungkinan naik banding,” ujar Lubis Ganie Surowidjojo, kuasa hukum dari PT NSP, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners.
Sebagai informasi, lahan PT NSP yang terbakar pada 2015 lalu yaitu seluas 3.000 hektare yang terdiri dari 2.000 hektare lahan produktif dan 1.000 hektare kawasan produktif. Adapun total lahan yang dimiliki oleh PT NSP di area tersebut seluas 21.418 hektare. PT NSP, lanjut dia, sengaja membakar hutan sebagai aksi land clearing.
Penulis: Danny Kosasih