Jakarta (Greeners) – Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tak memadamkan ancaman kebakaran hutan dan lahan. Selain menghadapi potensi penularan virus, masyarakat di sekitar wilayah tersebut juga berisiko ganda menanggung asap kebakaran. Karhutla juga dinilai akan meningkatkan risiko masalah pernapasan, terutama pada orang dengan penyakit pendahulu, seperti asma dan pneumonia.
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan dampak asap kebakaran hutan dan lahan terbukti dapat meningkatkan penyakit Tuberkulosis (TBC). Menurutnya, asap bakaran yang berasal dari karhutla seperti Nitrogen dioksida (NO2), lebih berisiko memperparah dan mempengaruhi penyakit paru dibanding peningkatan Sulfur dioksida (SO2) serta partikulat kecil di udara berukuran 10 meter atau kurang (PM10).
“Penduduk dengan gangguan paru positif Covid-19 akan lebih mudah mengalami kematian karena sistem parunya terganggu. Oleh karenanya, karhutla perlu dicegah agar penduduk di daerah rawan karhutla tidak mengalami gangguan kesehatan paru,” ujarnya pada diskusi daring “Antisipasi Dampak Kebarakan Hutan, Kabut Asap dan Covid-19, Rabu, (06/05/2020).
Baca juga: Sektor Pertanian Akan Hadapi Kekeringan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut wilayah yang berisiko kekurangan air bersih maupun ancaman kebakaran hutan dan lahan diperkirakan cukup luas. Ancaman tersebut akan dialami oleh kabupaten/kota yang diestimasi mengalami sifat hujan normal hingga atas normal, khususnya yang terbiasa membuka lahan dengan membakar.
Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University mengatakan, meskipun luas kebakaran 1,64 juta hektare pada 2019 lebih kecil dibanding 2015 yang mencapai 2,6 juta, emisinya hampir mendekati kesamaan. “Hal ini menunjukkan penanganan karhutla harus betul-betul dilakukan dengan baik dan hati-hati,” ucapnya.
Ia menuturkan, Indonesia menjadi penyumbang emisi terbesar kedua di dunia. Walaupun dari 2016 sampai 2017 kebakaran menurun, tetapi 2018 angkanya kembali meningkat. Kenaikan terbesar, kata Bambang, terjadi pada bulan Agustus hingga pertengahan September 2019. Selain, itu lahan gambut yang berada di tujuh provinsi juga memiliki tingkat kebakaran yang sangat tinggi.
“Gambut itu harus kita kendalikan karena menyumbang emisi paling tinggi. Khusus untuk gambut di Sumsel (Sumatera Selatan), dari 2,071 hektare di 2019, naik menjadi 136,875 hektare dan tren di provinsi lainnya juga naik. Wajar kalau emisinya juga melengking naik hingga 60 persen,” ujarnya.
Menurut Bambang, tanpa menunggu musim kemarau tiba, kebakaran di tahun ini tetap akan terjadi. Ia mencontohkan, pada 1 Januari dan 26 April lalu, kebakaran hutan dan lahan telah terjadi di Provinsi Riau. “Jangan berpikir karena COVID-19, orang berhenti bakar, tidak. Ia tetap menjalankan aksinya,” ujar Bambang.
Untuk mencegah karhutla, ia menuturkan pemerintah daerah seharusnya melakukan kepatuhan audit (audit compliance) mengenai pengendalian karhutla dan mengenakan sanksi administratif bagi yang tidak menerapkan. Sistem pencegahan dini, kata dia, juga perlu dilakukan melalui patroli atau pemantaun menggunakan drone.
Baca juga: Pemerintah Diminta Gencarkan Intensifikasi Dibanding Ekstensifikasi Sawah Baru
Sementara itu, Myrna Safitri, Deputi III Badan Restorasi Gambut (BRG) menyampaikan dalam mencegah karhutla di gambut, pihaknya mengajak masyarakat untuk turut andil. BRG melakukan edukasi khusus melalui program desa peduli gambut yang diikuti oleh 394 desa dan kelurahan. Kegiatan yang dilakukan yakni pemberdayaan ekonomi dan pertanian skala lokal tanpa membakar.
Ia mengatakan, upaya tersebut tidak bisa menjawab seluruh persoalan yang ada, sebab, tanggung jawab terbesar BRG berada pada areal konsesi. Myrna juga mengakui dalam empat tahun bekerja belum terlihat dampak yang menyeluruh.
“Tugas fungsi BRG hanya edukasi untuk konsesi. Jadi, kami tidak bisa keluar dari lingkup itu, yang kami lakukan sebatas mendampingi dan asistensi teknis,” ujar Myrna.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani