Jakarta (Greeners) – Tiga Lembaga Swadaya Masyarakat menentang penggunaan kantong berbahan dasar tanaman pangan sebagai pengganti kantong plastik sekali pakai. Pemakaian kantong bioplastik dinilai tak menjadi solusi untuk mengurangi masalah sampah plastik di lingkungan. Ketiga oganisasi tersebut di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace Indonesia, dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL, Fajri Fadhillah menyampaikan definisi kantong belanja ramah lingkungan sesuai Pergub 142/2020 ialah yang bersifat guna ulang dan terbuat dari daun kering, kertas, kain, poliester, materi daur ulang, memiliki ketebalan yang memadai, dan dapat didaur ulang.
Ia menuturkan jika mengacu pada pengertian tersebut, bioplastik termasuk bermasalah karena tidak bersifat guna ulang dan tak dapat didaur ulang. Dua unsur tersebut menyimpulkan bahwa bioplastik juga tidak bisa dianggap sebagai produk ramah lingkungan untuk kantong belanja. Sementara untuk istilah biodegradable dan compostable yang digunakan dalam pemasaran, kata Fajri, juga tak luput dari masalah.
Baca juga: Bike to Work: Rumah Sepeda Indonesia untuk Edukasi Hingga Advokasi
“Citra bahwa bioplastik dapat dengan mudah terurai atau dapat dikompos, secara eksplisit (menyebut bahwa) pihak produsen atau pihak yang mendorong bioplastik masih mempertahankan budaya-budaya sekali pakai yang pada akhirnya berada di tanah dan perairan,”ujar Fajri pada diskusi webinar bertajuk“Setelah Dua Bulan Berlaku, Seperti Apa Efektivitas Pergub DKI Jakarta No.142?”pada Senin, (31/08/2020).
Fajri mengutip studi yang dilakukan pada 2019 oleh Imogen Napper dan Richard Thompson mengenai perbandingan tingkat penguraian produk bioplastik, oxo-degradable, dan plastik konvensional biasa. Riset tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa bioplastik akan terurai menjadi plastik berukuran kecil (mikroplastik) dan membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Ia menuturkan klaim bioplastik yang keliru akan membuat kesimpulan yang salah bagi konsumen maupun masyarakat. Padahal masyarakat sudah cukup memiliki alternatif untuk mengganti kantong plastik. “Kami menyarankan pemerintah DKI Jakarta untuk fokus ke upaya pengurangan sampah, bukan memperburuk dengan mempromosikan atau memfasilitasi bioplastik dalam upaya pengurangan sampah plastik di Jakarta,” ujar Fajri.
Fajri mengatakan besarnya beban pengelolaan sampah membuat Pemerintah DKI Jakarta sebaiknya berfokus untuk meningkatkan upaya pengurangan sampah plastik, sebab, saat ini peraturan yang dibuat baru sebatas kantong plastik. Sedangkan, plastik jenis lain seperti manufaktur produk sekali pakai pada makanan, minuman, dan produk kecantikan belum diatur.
Plastik Kemasan Masih Mendominasi
Menurut Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik nasional masih didominasi oleh plastik kemasan sebesar 65 persen. Dari total permintaan yang ada, sekitar 60 persen di antaranya diserap oleh industri makanan dan minuman.
Industri minuman, misalnya, merupakan salah satu sektor yang pertumbuhannya paling cepat di Indonesia. Di Indonesia, sektor ini tumbuh 22,74 persen pada semester satu 2019. Ketika industri berkembang, volume sampah plastik pun akan meningkat. Tahun 2050, diperkirakan akan ada 12 miliar ton sampah plastik di lingkungan. World Economic Forum pun menaksir lebih dari 32 persen sampah plastik tidak tertangani dan menjadi sampah di daratan dan lautan.
Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia menyebut, kantong berbahan dasar tanaman pangan berpeluang mengancam ketahanan pangan dan mendorong pembukaan lahan, serta meningkatkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian. Berdasarkan data European Bioplastik, kapasitas produksi global bioplastik sudah mencapai 2 juta ton pada 2017 dan angkanya terus meningkat.
Baca juga: Kementan Hapus Ganja dari Daftar Tanaman Obat Binaan
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), kata Atha, meskipun disebut biodegradable, proses terurainya bioplastik membutuhkan tingkat kelembapan dan panas tertentu agar memungkinkan mikroorganisme untuk mengurainya.“Trik produsen harus dicegah agar kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan krisis sampah plastik bisa terus dilakukan secara konsisten. Bahkan seharusnya kebijakan pelarangan kantong plastik sekali pakai berlaku secara nasional,” ucapnya.
Pada tahun 2019, Greenpeace melakukan audit merek (brand audit) di sembilan kota di Indonesia. Hasilnya menemukan bahwa komposisi kantong plastik di lingkungan menempati posisi kedua yakni sebanyak 1.503 buah atau 11 persen. Menurut Atha, upaya pemerintah daerah untuk melarang penggunaan kantong plastik merupakan inisiatif yang tepat.
Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Daerah Walhi DKI Jakarta mengatakan Pergub DKI No.142/2019 menjadi salah satu pendorong bagi perubahan gaya hidup masyarakat ke arah minim sampah.“Diperkirakan pada tahun 2050 akan ada 12 miliar ton sampah plastik di lingkungan. Indonesia pun telah mencanangkan bebas sampah plastik pada 2040,” ujar Tubagus.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani