Jakarta (Greeners) – Pemerhati satwa punya cara tersendiri untuk mengamati dan memastikan keberadaan dan perilaku satwa liar di alam salah satunya dengan kamera trap atau kamera jebakan. Upaya ini ternyata punya manfaat luar biasa untuk mengeksplorasi keragaman hayati.
Perwakilan Fauna dan Flora International – Indonesia Programme Wido Albert membagikan ceritanya terkait pemasangan kamera jebakan untuk memantau harimau sumatra di Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebelum menentukan lokasi pemasangan kamera, survei terlebih dahulu ia lakukan.
“Kalau di Kerinci Seblat kebetulan hutannya perbukitan dan pegunungan. Jadi yang utama kita mencari tanda-tanda keberadaan. Kita survei dulu dimana misalnya keberadaan tapak harimau atau kotoran-kotorannya. Kalau untuk umum, kita pasang di pematang bukit. Karena umumnya jalur satwa itu di pematang-pematang bukit yang terjal,” jelas Wido kepada Greeners di Jakarta, Jumat (19/11).
Wido mengungkapkan, sebanyak 200 titik kamera trap perlu terpasang di setiap blok pemantauan. Kamera harus terpasang ganda pada setiap jalur lintasan satwa. Pemasangan kamera jebak biasanya membutuhkan waktu 6-8 hari. Hal ini bergantung seberapa jauh lokasi titik pemasangan kamera jebak tersebut. Setelah 40-60 hari kamera jebakan akan ia dan tim ambil kembali.
“Karena di hamparan hutan, jarang hari pertama langsung pasang. Biasanya hari pertama masih jalan lalu hari kedua baru masang titik pertama. Itu periode pertama, kalau periode kedua harus agak ke tengah. Bisa hari ke tiga atau ke empatnya baru masang. Ada juga yang jauh, hari ke empatnya baru kita bisa masang,” paparnya.
Pemasangan Kamera Trap Untuk Macan Tutul
Manajer Operasional Sintas Indonesia Erwin Wilianto yang juga menjelaskan pengalamannya memasang kamera jebakan di Pulau Jawa untuk macan tutul. Erwin menjelaskan kesulitan ketika akan memasang kamera jebakan ini adalah akurasi lokasi penempatan kamera. Karena ukuran petak survei macan tutul yang hanya sekitar 2×2 km persegi.
“Jalur di hutan itu banyak dan ukuran petak survei macan tutul sekitar 2×2 km persegi. Ini tantangan bagi kami untuk bisa menempatkan satu kamera ini di sebelah mana. Kita perlu tahu perilaku, kebutuhannya dan pentingnya bagi kami mempunyai kemampuan navigasi darat atau membaca peta. Dan untuk kucing itu, lebih cenderung menggunakan jalan yang sudah terbuka, ini juga jadi memudahkan kami,” ungkap Erwin.
Seperti halnya untuk harimau sumatra, butuh dua unit kamera trap untuk macan tutul yang terpasang saling berhadapan. Hal ini untuk membantu mempermudah identifikasi dari jenis macan tutul apa yang terekam oleh kamera jebak tersebut.
“Kita juga biasa menggunakan kamera trap sepasang di satu stasiun, dipasang berhadapan. Dengan harapan kita bisa memotret sisi kanan dan sisi kiri macan tutul tersebut. Karena setiap individu memiliki totol macan yang unik, jadi ini bisa kita gunakan sebagai penanda atau ciri-ciri dari individu itu,” tuturnya.
Bagian dari Eksplorasi Keragaman Hayati
Erwin pun berharap kamera trap ini dapat membantu mengenali keragaman hayati yang masih belum terindentifikasi dan masyarakat ketahui keberadaannya. Selain untuk mencari tahu jumlah populasi satwa. Kemudian keberadaan kamera ini dapat membuat kita lebih mengenali perilaku satwa.
“Sebenarnya masih banyak sekali keragaman hayati yang masih belum tereksplor. Harapannya kamera trap ini bisa membantu untuk menemukan hal tersebut. Tidak hanya untuk populasi tetapi juga masih banyak satwa yang perilakunya belum dapat dipahami terutama satwa-satwa yang jarang orang temui,” harapnya.
Erwin kembali berharap masyarakat dan komunitas peduli keberadaan satwa bisa mengakses kamera trap. Dengan begitu dapat membantu mengindentifikasi keragaman hayati yang ada di Indonesia.
“Mungkin karena alat kamera trap ini mahal. Harapan kami orang-orang yang memiliki perhatian terhadap isu ini dapat mengakses alat-alat seperti ini untuk mengetahui keragaman hayati seperti macan tutul ini,” pungkasnya.
Penulis : Fitri Annisa