Jakarta (Greeners) – Kelompok kerja (Pokja) Kebijakan Konservasi yang terdiri dari individu dan beberapa lembaga yang peduli terhadap persoalan konservasi dan kebijakannya, mendesak pemerintah untuk segera merevisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Desakan ini diperlukan mengingat kekejian yang dilakukan para penyelundup terhadap puluhan kakatua jambul kuning yang semakin memprihatinkan.
Koordinator Pokja Konservasi, Andri Santosa mengatakan bahwa terungkapnya penyelundupan kakatua jambul kuning belum lama ini sudah seharusnya menjadi momentum terhadap perubahan mendasar dari perlindungan spesies dan habitat keanekaragaman hayati yang tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1990.
“Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, setidaknya ada 30 lebih kasus perdagangan kakatua yang rata-rata pemberian sanksi hukuman bagi para penyelundup itu hanya kurang dari satu tahun saja,” jelasnya saat menggelar Konferensi Pers di Kantor Yayasan Kehati, Jakarta, Senin (11/05).
Sofi, anggota Pokja dari World Conservation Society (WCS) mencatat, kasus perdagangan satwa liar sejak tahun 2010 teridentifikasi sebanyak 88 kasus, meliputi harimau, gading gajah, trenggiling maupun kakatua yang diperdagangkan secara hidup maupun diambil bagian tubuhnya. Data ini menunjukkan bahwa fenomena perdagangan atau penyelundupan satwa yang dilindungi ini masih sangat tinggi.
Tingginya fenomena ini, lanjut Sofi, mayoritas disebabkan oleh lemahnya peran pemerintah dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan satwa liar. Untuk kakatua saja, tingkat perdagangan satwa yang paling tinggi ada pada kakatua putih. Sedangkan dalam PP No. 7 Tahun 1999, kakaktua putih bahkan tidak masuk termasuk dalam spesies yang dilindungi.
Kasubdit Program dan Evaluasi Penyidikan dan Pengamanan Hutan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Explotasia juga mengakui bahwa wildlife crime adalah kejahatan yang serius mengingat kejahatan ini telah menduduki peringkat ke tiga setelah senjata dan obat-obatan terlarang.
“Beberapa hal telah kita lakukan untuk menanggulangi masalah ini. Selain perburuan liar, perdagangan liar juga harus dihadapi dan bagaimana kita dapat menutup peredaran pasar gelap. Oleh karena itu revisi UU No. 5 Tahun 1990 juga perlu menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Indra menerangkan bahwa KLHK telah membuat kerjasama dengan Amerika dan Vietnam dalam rangka mengurangi perdagangan satwa liar. Saat ini, KLHK juga tengah mengusahakan untuk menjalin kerjasama dengan Tiongkok karena Tiongkok termasuk salah satu dari negara yang menyelundupkan hewan liar terbesar.
Sebagai informasi, Pokja yang merupakan gabungan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Kehati, WWF Indonesia, WCS dan banyak lainnya ini telah membuat petisi mendukung perubahan UU No. 5 Tahun 1990 melalui Change.org/kakatuabotol yang hingga hari ini telah ditandatangani oleh 17.000 orang lebih.
Penulis: Danny Kosasih