Sintang (Greeners) – Sebagai bagian dari kelompok Kabupaten Lestari, yaitu asosiasi pemerintah kabupaten yang dibentuk untuk mendorong implementasi visi pembangunan berkelanjutan, Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat berkomitmen untuk memproduksi minyak sawit dengan konsep Kelapa Sawit Berkelanjutan (KSB).
Bupati Sintang Jarot Winarno menyatakan bahwa konsep perkebunan KSB ini dapat menyeimbangkan antara konservasi, sosial budaya, termasuk juga memberikan sumber penghasilan masyarakat.
“Jika ingin melakukan perkebunan sawit berkelanjutan harus seimbang: pembangunan ekonominya, sosial budayanya, dan konservasi,” kata Jarot kepada wartawan peserta kunjungan media ke lokasi proyek Kelapa Sawit Berkelanjutan WWF Indonesia di Sintang, Kalimantan Barat, Rabu (21/11/2018).
BACA JUGA: Sertifikasi ISPO dan RSPO untuk Industri Sawit Berkelanjutan
Penerapan program KSB di Kabupaten Sintang menurut Jarot masih menemui kendala, yaitu masih adanya petani sawit mandiri (mengelola lahannya sendiri) yang melakukan ekspansi lahan secara sembarangan. Penyebabnya produktivitas petani mandiri rendah dan pengetahuan tentang tata kelola perkebunan kelapa sawit masih kurang.
Oleh karena itu, Jarot mengatakan Pemerintah Kabupaten Sintang akan memberikan pelatihan terhadap petani mandiri tentang penerapan Good Agricultural Practices. “Kalau bibitnya bagus, pengelolaan bagus, pemupukan bagus akhirnya menghasilkan produktivitas tinggi dan tidak ada lagi nafsu ekspansi,” tambah Jarot.
Ia juga mengatakan, solusi untuk memperbaiki produktivitas dan kesejahteraan petani mandiri adalah membangun koperasi. Koperasi dinilai Jarot sangat penting karena keuntungan yang dihasilkan akan kembali kepada anggota koperasi.
Sebelumnya, pemerintah daerah kabupaten Sintang telah menerbitkan Peraturan Bupati Sintang Nomor 57 Tahun 2018. Peraturan tersebut berisi tentang aturan pembukaan hutan yang diperbolehkan, jenis tanaman, luas maksimal pembukaan lahan, hingga larangan pembakaran hutan pada musim kemarau.
BACA JUGA: Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Belum Terintegrasi
Pada kesempatan yang sama, Sustainable Palm Oil Program Manager WWF Indonesia, Putra Agung, mengatakan bahwa ada tiga faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan program tersebut. Pertama, komitmen dari para pemangku kepentingan dan praktik keberlanjutan secara nyata untuk menerapkan program KSB; ke dua, dibutuhkan kepala daerah yang memiliki komitmen dan terjun langsung ke lapangan untuk mengimplementasikan program tersebut; dan ke tiga, adanya garansi terhadap produk atau komoditas yang bebas dari praktik tidak bertanggung jawab.
Program KSB ini juga mendorong perusahaan sawit maupun petani sawit agar memiliki sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Kepala Seksi Pengembangan dan Produksi Perkebunan, Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sintang, Arif Setyabudi sendiri menyatakan perusahaan kelapa sawit wajib untuk segera membuat ISPO.
“Apabila tidak, kami akan evaluasi. Akan ada peringatan 1 hingga 3 dengan jangka waktu 4 bulan di setiap peringatan. Setelah itu izin usaha bisa kami cabut dari perkebunan tersebut,” tambah Arif pada acara Konsultasi Publik Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan, Kamis (22/11/2018).
Luas Kabupaten Sintang mencapai 2 juta hektare dengan 59% wilayah hutan dan 41% bukan wilayah hutan, wilayah ini merupakan Areal Pengunaan Lain (APL). Jarot menyatakan, saat ini terdapat 177 ribu hektare yang telah ditanami sawit dari total 500 ribu hektare lahan konsesi untuk kelapa sawit di Sintang. Total ada 47 perusahaan sawit di Kabupaten Sintang, namun baru 2 perusahaan tersertifikasi RSPO dan 6 perusahaan tersertifikasi ISPO.
Penulis: Thorvy Qalbi