Jakarta (Greeners) – Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mendesak pemerintah untuk segera memperbaiki peraturan dan pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Uni Eropa. Atas dasar desakan tersebut, JPIK pun meluncurkan “SVLK di mata pemantau” yang memaparkan hasil pemantauan independen dari JPIK dalam kurun waktu 2011-2013.
Koordinator Nasional JPIK, Zainuri Hasyim, menjelaskan, pemantauan independen masyarakat sipil atas SVLK merupakan bagian dari perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa melalui kesepakatan kemitraan sukarela dalam penegakan hukum, perdagangan dan tata kelola sektor kehutanan.
Ia menyatakan JPIK menyoroti lemahnya penegakan aturan dan penerapan sanksi bagi pemegang izin yang tidak melaksanakan SVLK maupun yang terbukti melakukan pelanggaran.
“Perbaikan terhadap aturan dan pelaksanaan SVLK ini sangat diperlukan untuk memastikan kredibilitas sistem ini kedepan,” ungkap Zainuri, Jakarta, Senin (24/11).
Selain itu, Zainuri mengapresiasi kebijakan SVLK yang menempatkan pemantauan independen sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem. Ia menganggap hal tersebut merupakan sebuah terobosan hukum yang cukup progresif dan memberikan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat dalam memantau pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Menurut Zainuri, kasus korupsi perizinan kehutanan yang terjadi di Provinsi Riau yang melibatkan pemerintah daerah setempat seperti memperlihatkan bahwa SVLK seperti tidak terkait dalam kasus ini. Padahal, SVLK bisa saja melakukan penyelidikan namun tidak ada upaya untuk menyelidiki beberapa perusahaan yang bersertifikat SVLK yang terlibat dalam kasus korupsi perizinan tersebut.
“SVLK seharusnya dapat mencegah keluarnya sertifikat bagi pemegang izin bermasalah dengan cara memasukkan prosedur keluarnya izin sebagai bagian dari standar legalitas SVLK,” pungkasnya.
Sebagai informasi, hasil pemantauan JPIK terhadap 34 pemegang izin menunjukkan beberapa kelemahan dalam pelaksanaan SVLK. Beberapa permasalahan yang mencuat diantaranya seperti masalah mekanisme keterlacakan bahan baku, proses perizinan yang bermasalah, pelanggaran terhadap fungsi kawasan, tata batas dan tata ruang, persoalan konflik terutama yang terkait dengan tata batas dan tenurial, serta beberapa kelemahan yang terkait dengan verifikasi legalitas kayu yang berasal dari konversi hutan alam.
(G09)