Jakarta (Greeners) –Jerman sebagai salah satu konsumen batu bara terbesar di dunia akan menutup 84 pembangkit listrik tenaga batu bara dan beralih kepada energi terbarukan selama 19 tahun ke depan untuk memenuhi komitmen internasionalnya dalam menekan laju perubahan iklim.
Keputusan ini menandai arah perubahan signifikan bagi negara besar di Eropa. Namun, tidak dipungkiri dalam beberapa tahun terakhir Jerman terkesan lamban dalam menargetkan pengurangan emisi CO2.
“Ini adalah pencapaian bersejarah. Tidak akan ada lagi pabrik pembakaran batu bara di Jerman pada tahun 2038,” kata Ronald Pofalla, Ketua Komisi Pemerintah Yang Beranggotakan 28 Negara, dilansir dari latimes.com
Ronald mengatakan target awal penutupan pembangkit batu bara ini cukup besar, seperempat dari pabrik pembakaran batu bara negara dengan kapasitas 12,5 gigawatt akan ditutup pada tahun 2022. “Itu berarti sekitar 24 pabrik akan ditutup dalam tiga tahun pertama. Pada 2030, Jerman seharusnya memiliki sekitar delapan pabrik pembakaran batu bara yang tersisa, menghasilkan 17 gigawatt listrik,” ujarnya.
Pada Kesepakatan Paris tahun 2015, Jerman dan hampir 200 negara di seluruh dunia setuju untuk berupaya berupaya menjaga pemanasan global “jauh di bawah” 2 derajat Celcius dan mengejar upaya untuk membatasi kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat.
BACA JUGA : Uni Eropa Diingatkan untuk Mengurangi Batubara
Komitmen Kesepakatan Paris tersebut juga diikuti oleh Indonesia. Sayangnya, komitmen ini masih jauh bagi Indonesia jika dilihat dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019-2028.
Ahli Energi Terbarukan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Jannata Giwangkara mengatakan potensi energi terbarukan di Indonesia masih “menantang” karena di RUPTL PLN, batu bara masih mendominasi komposisi pembangkit, dimana penambahan kapasitas PLTU dari tahun 2019 hingga tahun 2028 ditargetkan sebesar 27.063 MW atau 27 GW atau 48% dari total penambahan sebesar 56,4 GW yang tersebar di Sumatera, Jawa-Bali-NusaTenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua.
“Lalu, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), batu bara masih diakui sebagai andalan pasokan energi nasional. Sedangkan, bauran energi primer di tahun 2025 ditargetkan 30% dan di tahun 2050 masih di level 25%,” ujarnya kepada Greeners, Rabu (12/06/2019).
Disisi lain, Jannata menyampaikan pengembangan energi terbarukan (ET) juga masih terganjal beberapa hal, pertama belum menjadi prioritas pemerintah secara konkret (seperti infrastruktur).
Kedua, peraturan yang masih ‘mengganjal’ pengembangan energi terbarukan (mekanisme build, own, operate, transfer dimana mengharuskan pengalihan hak pembangkit dari pengembang ke PLN), sehingga menurunkan minat investor atau pengembang energi terbarukan karena risikonya menjadi tinggi.
BACA JUGA : Ambisius, Kota Beijing Akan Kurangi Pemakaian Batubara Hingga 7 Juta Ton.
“Ketiga, harga jual listrik dari energi terbarukan masih dipaksa untuk kompetitif (rata-rata maksimum 85% dari harga biaya pokok produksi (BPP) pembangkitkan listrik setempat) dengan harga jual listrik dari batu bara yang banyak mendapatkan subsidi dari pemerintah (misalnya kebijakan domestik market obligation, cap harga maksimum batu bara untuk PLN).
Beberapa hal itulah yang menjadikan potensi Indonesia terhadap energi terbarukan masih menantang apalagi terlihat kurangnya dukungan dari pemerintahannya sendiri yang menjadikan energi terbarukan lebih sulit berkembang,” paparnya.
Sementara itu, pendapat lain juga diutarakan oleh Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah, ia mengatakan semestinya Indonesia terutama pemerintahannya merasa malu jika melihat negara-negara lain sudah bergerak maju dan meninggalkan energi batu bara dan beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
“Penyebab kenapa Indonesia susah move on dari energi batu bara ini ialah adanya oligarki batubara yang berada di politik dan bisnis di kalangan pemerintahan. Makanya pengambil kebijakannya stuck dan tidak pro terhadap energi terbarukan. Hal ini juga terlihat pada komitmen Indonesia di dunia internasional untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan luar negeri. Jika komitmen ini tidak dipraktik-an, hanya sekadar pencitraan saja bagi Indonesia di dunia internasional,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih