Jelang Pemilu 2019, Saatnya Politikus Hijau Gaet Generasi Milenial

Reading time: 2 menit
pemilu
Ilustrasi: istimewa

Jakarta (Greeners) – Tahun depan seluruh warga negara Indonesia serentak melakukan pemilihan umum (Pemilu). Sayangnya, sampai saat ini isu lingkungan hidup masih dianggap kurang “seksi” untuk dibahas ataupun dijadikan sebuah program dari kader partai politik. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati mengatakan hingga Pilkada 2018, isu lingkungan hidup masih berada di pinggiran, jauh dari perdebatan di ruang publik dan belum menjadi preferensi bagi publik dalam menentukan pilihan politiknya.

“Hasil kajian WALHI yang dilakukan jelang Pemilihan Legislatif tahun 2014 lalu terkait indeks kualitas calon anggota legislatif (caleg) yang memiliki kapasitas, komitmen, integritas dalam lingkungan hidup dan hak asasi manusia, menunjukkan hanya 0,2 persen caleg yang lolos ke Senayan. Menjadi sangat wajar kemudian, jika anggota parlemen kita jauh dari pembahasan agenda penyelamatan lingkungan hidup,” ujar perempuan yang akrab disapa Yaya ini saat ditemui dalam Seminar Nasional dan Deklarasi Agenda Politik Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta, Kamis (20/12/2018).

Yaya mengatakan agenda politik lingkungan hidup bukanlah perkara yang mudah dan membutuhkan kemauan politik (political will) dan kepemimpinan yang kuat. Hal ini diperlukan agar seluruh elemen masyarakat juga dapat terlibat guna mewujudkan keadilan ekologis.

“Kami di acara seminar ini menghadirkan kader gerakan politik lingkungan hidup yang merupakan anggota atau kader dari WALHI yang maju pada pemilu 2019. Harapannya kader kami yang ada di berbagai partai politik ini bisa terus menyuarakan persoalan lingkungan hidup dan bisa mendorong adanya kebijakan yang memihak lingkungan serta berjalannya politik hijau di pemerintahan,” ujar Yaya.

BACA JUGA: IESR: Prospek Energi Terbarukan Tahun 2019 Akan Lebih Suram 

Dosen Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Suraya Afiff mengatakan, politik hijau sendiri ialah hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan atau pilihan politik yang memengaruhi gaya hidup, nilai dan perilaku manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

“Saat ini sangat sulit menemukan calon kader yang memiliki tujuan menyuarakan lingkungan untuk masuk ke panggung politik karena isu lingkungan dianggap tidak menarik dan tidak “seksi”. Maka itu, calon kader ini harus memiliki nilai isu lingkungan yang bisa memengaruhi gaya hidup, nilai, dan perilaku masyarakat Indonesia,” kata Suraya.

Suraya menyontohkan mengenai permasalahan sampah. Caleg yang pro terhadap lingkungan harus menunjukkan perilaku seperti membawa tumbler, tidak membuang sampah, dan memilah sampahnya. “Isu lingkungan ini harus diorientasikan kepada generasi milenial karena generasi inilah yang memegang peranan penting dalam pemilihan umum pada tahun 2019 nanti,” jelas Suraya.

BACA JUGA: Penyusunan RUU Pengawasan Obat dan Makanan Direncanakan Selesai Awal Tahun 2019 

Lebih lanjut communication engangement specialist dari Coaction Indonesia, Juris Bramantyo, menyatakan bahwa ada 65 juta milenial yang akan ikut serta dalam pemilihan umum 2019. Milenial sendiri diperkirakan generasi yang lahir antara tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an.

“Kalau ditanya milenial tertarik isu lingkungan atau tidak? Jawabannya iya, karena saya melihat tren isu lingkungan ini meningkat di kalangan generasi milenial. Gerakan lingkungan saat ini disukai oleh generasi milenial karena generasi ini menyukai hal-hal yang eksis dan memiliki nilai yang bisa diperlihatkan. Gerakan lingkungan menjadi salah satu nilai yang bisa mereka ikuti, seperti menjadi volunter,” ujar Jirus.

Juris menyarankan jika para caleg ini ingin memperoleh suara milenial, caleg tersebut harus membuat isu lingkungan menjadi sangat trendi. Hal ini karena generasi milenial cenderung akan mengikuti tren supaya bisa eksis.

“Trendi di sini artinya yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya menggunakan sedotan stainless. Hal seperti itulah yang trend value-nya bisa diterapkan dengan mudah. Jangan diberikan data, grafik, atau jargon-jargon yang susah dipahami,” kata Jirus.

Penulis: Dewi Purningsih

Top