Jakarta (Greeners) – Antisipasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tak boleh kendur, harus semua pihak lakukan setiap saat dan tak hanya ketika adanya El Nino.
Sebelumnya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan agar semua pihak lebih siap dan antisipatif terhadap dampak musim kemarau yang lebih kering dari biasanya.
Prediksi peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, karhutla dan kekurangan air bersih harus menjadi perhatian karena musim kemarau tahun ini jauh lebih kering daripada tiga tahun terakhir.
Maret 2023 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah merilis luas karhutla telah mencapai 12.666 hektare di 29 provinsi di Indonesia.
Pakar karhutla dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengatakan, hadirnya El Nino menyebabkan suhu udara akan meningkat dari biasanya dan kelembapan relatif akan menurun. Implikasinya yakni percepatan proses pengeringan bahan bakar sehingga akan relatif mudah terbakar.
“Kondisi ini akan sangat berbahaya. Sebab, akan mempermudah proses penjalaran api karena bahan bakar di lapangan dalam keadaan relatif mudah terbakar,” kata dia kepada Greeners, Senin (1/5).
Implikasi lain dari hadirnya El Nino maka beberapa wilayah tempat kantong penyimpan air dalam kegiatan pemadaman keberadaan air akan berkurang sehingga akan mengganggu kegiatan pemadaman.
Extreme Fire akan Terus Meningkat
Program Lingkungan PBB (UNEP) tahun 2022 juga melaporkan bahwa extreme fire akan terus meningkat sebesar 14 % hingga tahun 2030. Peningkatan extreme fire akan mencapai 30 % hingga tahun 2050.
Berdasarkan laporan UNEP tersebut maka upaya pengendalian karhutla tidak boleh kendur, terlebih hanya menunggu kehadiran El Nino. “Sebab laporan UNEP itu sekaligus berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran periode mendatang,” imbuhnya.
Bambang menekankan, upaya pengendalian karhutla bukan saja hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau instansi semata. Namun, seluruh lapisan masyarakat juga harus bersama-sama mengendalikannya.
“Jangan sampai terus berulang. Saat kegiatan seremonial pengendalian karhutla semua pihak terkait hadir. Tapi saat terjadi kebakaran tidak sebanyak peserta seremonial tersebut,” ungkapnya.
Pengendalian Karhutla Masih Bergantung Pemerintah Pusat
Pengendalian karhutla membutuhkan kecukupan dana dan sumber daya agar api bisa padam. Namun, Bambang menilai meski kejadian karhutla terjadi hampir setiap tahun tapi sampai detik ini banyak pemerintah daerah yang masih menggantungkan pada anggaran pusat dan personal pemadamnya.
Juru Kampanye Pantau Gambut Wahyu Perdana menyatakan, faktor lain penyebab kerentanan karhutla di antaranya perubahan fungsi lahan, khususnya di lahan gambut yang memicu kabut asap. Beberapa lokasi, bahkan berulang terbakar lebih dari satu kali.
“Faktor lahan gambut yang dibuka oleh perkebunan ataupun beralih fungsi juga meningkatkan kerentanan,” kata Wahyu.
Pada studi kerentanan karhutla Pantau Gambut 2023 yang menggunakan dataset tahun 2015 hingga 2019, menyebut 16,4 juta hektare area gambut di Indonesia rentan terbakar.
“Di mana area seluas 3,8 juta hektare masuk ke dalam kategori kerentanan tinggi (high risk) dan 12,6 juta hektare tergolong ke dalam kerentanan sedang (medium risk),” tuturnya.
Wahyu mengkhawatirkan, jika situasi karhutla tak bisa diantisipasi maka akan sangat berisiko menimbulkan bencana ekologis. “Seperti pada tahun 2015 dan 2019 yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat,” kata dia.
Metana dan Emisi GRK Meningkat 7 Kali Lipat
Peneliti University of California menyatakan, karhutla telah memperparah pemanasan global. Gas metana dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang terlepas naik 7 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
Studi dalam jurnal Atmospheric Chemistry and Physics ini mengungkap semakin intens karhutla maka semakin besar pula emisi yang dihasilkan. Para peneliti menyebut, pemanasan global akibat metana telah menghangatkan planet ini 86 kali daripada karbon dioksida selama 20 tahun.
Wahyu menyatakan dampak karhutla terhadap perubahan iklim sangat nyata khususnya pada kebakaran gambut.
“Kebakaran pada tanah mineral dan tanah gambut tidak bisa kemudian kita perlakukan sama. Pada gambut menghasilkan asap lebih banyak karena faktor fisik ekosistem gambutnya,” ujar dia.
Ia mengingatkan kembali potensi lahan gambut di Indonesia sangat tinggi, yakni menyimpan sekitar 57 gigaton karbon. Ini setara sekitar 30 % karbon dunia.
“Cadangan karbon dalam tanah gambut akan terlepas ke udara jika kita keringkan atau alih fungsikan. Ini menyumbang 63 % total emisi karbon dunia,” pungkas dia.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin