Jakarta (Greeners) – Bahan bakar fosil kerap digunakan sebagai formula dalam produk pembersih atau binatu. Sebagian besar produk tersebut mengandung bahan kimia atau sumber karbon yang tidak dapat diperbarui dan meninggalkan jejak di lingkungan.
Peneliti Energi Biomassa dan Lingkungan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muryanto menjelaskan, surfaktan merupakan bahan utama yang terkandung di dalam pembersih maupun deterjen. Zat tersebut merupakan molekul yang mampu memisahkan kotoran di pakaian. Secara umum senyawa aktif ini juga menggunakan produk petrokimia yang berasal dari minyak dan gas bumi atau bahan bakar fosil dalam proses kegiatannya.
Baca juga: Meninjau Ulang Konsep Pariwisata Indonesia
“Jadi, emisi yang dihasilkan adalah dari pemanfaatan bahan bakar fosil sebagai raw material di surfaktan dan juga dari proses penggunaan bahan bakar fosil di proses pembuatan,” ujar Muryanto saat dihubungi Greeners, pada Jumat, (11/09/2020).
Ia mengatakan sektor rumah tangga berperan terhadap keberadaan emisi terutama pada proses penggunaan produk pembersih. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini mewajibkan mencuci tangan dan pakaian. Semakin banyak produk pembersih yang digunakan, akan semakin banyak pencemaran yang dihasilkan karena umumnya tidak ada pengolahan limbah di rumah tangga.
“Secara konsep kajian daur hidup (Life Cycle Assessment) setiap produk akan membawa carbon footprint berupa emisi CO2, baik dari bahan baku maupun pada proses pembuatannya. Semakin banyak produk itu menggunakan bahan bakar fosil, semakin banyak carbon footprint yang dihasilkan,” ujarnya.
Untuk surfaktan sendiri, kata dia, saat ini telah banyak dikembangkan dari minyak nabati seperti minyak sawit. Atau dapat menggunakan bakteri yang mengolah minyak sawit atau biomassa lain menjadi surfaktan sehingga tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil.
“Dengan mengganti jenis surfaktannya, ketika produk tersebut banyak diproduksi atau digunakan, emisi CO2 yang dikeluarkan juga rendah,” ucapnya.
Beralih dari Bahan Bakar Fosil
Pada awal September lalu, perusahaan multinasional Unilever menyatakan akan mengganti seluruh bahan bakar fosil dalam formula produk pembersihnya dengan energi terbarukan dan ramah lingkungan pada 2030. Industri yang memproduksi deterjen ini menyebut bahwa bahan kimia yang digunakan dalam produk pembersih dan binatunya merupakan penghasil jejak karbon terbesar dari seluruh produk, yakni 46 persen dalam seluruh siklus pemakaiannya.
“Sebagai sebuah industri, ketergantungan kita pada bahan bakar fosil harus diputus, termasuk sebagai bahan baku produk,” ujar Peter ter Kulve, Unilever’s President of Home Care dalam siaran persnya, Rabu, (2/9) lalu.
Baca juga: AMAN: Pengaturan Evaluasi RUU Masyarakat Adat Membahayakan
Penggantian ini diharapkan mampu mengurangi jejak karbon dari formulasi produk sebanyak 20 persen. Kebijakan ini juga disebut sebagai salah satu cara yang dilakukan Unilever untuk mendukung program perubahan perusahaan menjadi ramah lingkungan bernama Clean Future. Tujuannya untuk menanamkan prinsip ekonomi sirkular ke dalam kemasan dan formulasi produk untuk mengurangi jejak karbon.
Unilever berinvestasi sebanyak 1 miliar euro untuk mendanai penelitian bioteknologi, pemanfaatan karbon dioksida (CO2) dan limbah, serta bahan kimia rendah karbon. Dana tersebut juga akan digunakan untuk membuat formulasi produk biodegradable dan hemat air maupun untuk mengurangi separuh penggunaan virgin plastic di 2025.
Penulis: Dewi Purningsih dan Ida Ayu Putu Wiena Vedasari
Editor: Devi Anggar Oktaviani