Jakarta (Greeners) – Sejumlah gugatan pemerintah terhadap perusahaan yang terbukti lalai dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hendaknya tidak sebatas tajam di “meja hijau” (pengadilan). Namun gugatan dan tuntutan hukum itu juga harus dibarengi desakan dan paksaan pemulihan (restorasi) hutan dan gambut yang rusak.
Oleh sebab itu, penegakan hukum karhutla dari hulu ke hilir harus memiliki konsistensi eksekusinya di lapangan. Apalagi karhutla di tahun 2021 meningkat dari pada tahun 2020.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, terjadi kenaikan kejadian karhutla pada tahun 2021. Kenaikannya sebanyak 15 % atau 56.280 hektare (ha) dari pada tahun 2020. Adapun jumlah karhutla tahun 2021 mencapai 353.222 ha. Sedangkan tahun 2020 mencapai 296.942 ha.
Kenaikan karhutla tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan rincian, karhutla di NTT 137.297 ha dan NTB 100.908 ha.
Pakar karhutla dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengungkapkan, berbagai faktor bisa menjadi penyebab karhutla. Misalnya faktor alam berupa kekeringan hingga kesengajaan pembukaan lahan dengan pengabaian kelestarian lingkungan dan hukum yang ada. Oleh sebab itu, penegakan hukum menjadi kunci untuk mengatasi bencana karhutla.
Lebih jauh Bambang menyebut, permasalahan penegakan hukum karhutla bersifat tumpul saat eksekusi. Hal ini terlihat dari tak adanya upaya memerhatikan nasib hutan atau lahan pascakebakaran. Setelah eksekusi, gambut misalnya butuh restorasi cepat karena telah rusak oleh karhutla.
“Kalau tidak, gambut yang rusak itu akan berkelanjutan. Artinya ketika ada putusan bersalah dan mengganti sekian pada tuntutan PN itu kan putusannya beberapa tahun kemudian. Jeda waktu ini menyebabkan ketebalannya gambut akan makin rusak,” papar Bambang Hero kepada Greeners, di Jakarta, Jumat (21/1).
Tak Segera Restorasi, Kerusakan Akibat Karhutla akan Terus Berlanjut
Pembiaran lahan gambut pasca karhutla sangat rawan terjadi kerusakan lebih lanjut. Misalnya, jeda kasus yang Pengadilan Negeri (PN) proses dengan keputusan kasasi bisa memakan waktu bahkan lima tahun.
Padahal, lahan gambut yang rata-rata kebakarannya 10 centimeter (cm) bisa turun hingga 50 cm. Ironisnya, restorasi lahan bekas karhutla jarang perusahaan penuhi dalam putusan. “Artinya kerugian yang ada lebih besar jika putusan yang dijatuhkan pada saat pengadilan pertama dan dibayar lima tahun berikutnya, maka bisa jadi budget tak cukup,” paparnya.
Penegakan hukum karhutla mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Sebelumnya, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Ditjen Gakkum KLHK Jasmin Ragil Utomo, menyampaikan informasi saat ini terdapat 22 perusahaan terkait kasus kebakaran lahan dan hutan yang KLHK gugat.
“Sudah 12 perkara berkekuatan hukum tetap. Saat ini KLHK tengah mempersiapkan proses eksekusi atas perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan yang sudah berkekuatan hukum tetap,” kata Ragil.
Karhutla Kejahatan Luar Biasa
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengungkapkan, kejahatan karhutla merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam kesehatan dan kehidupan masyarakat serta merusak ekosistem dan merugikan negara.
“Kami akan menggunakan semua instrumen hukum, baik sanksi dan denda administratif, mencabut izin, ganti rugi, maupun pidana penjara, agar pelaku jera. Sudah banyak perusahaan yang tidak patuh kami berikan sanksi termasuk pembekuan dan pencabutan izin. Tidak hanya itu banyak juga yang sudah kami gugat ganti rugi secara perdata dan dihukum pidana baik penjara maupun denda,” tegas Rasio.
Baru-baru ini KLHK mengugat PT Rafi Kamajaya Abadi (PT RKA) di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat (Kalbar) dan PT Agri Bumi Sentosa (PT ABS), di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Gugatan KLHK layangkan karena keduanya telah menyebabkan kebakaran lahan di konsesi dua perusahaan tersebut.
KLHK mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata terhadap PT RKA sebesar Rp 1 triliun atas karhutla seluas 2.560 ha ke PN Sintang Kalbar. Kemudian kepada PT ABS senilai Rp 752,2 miliar atas karhutla 1.500 ha ke PN Jakarta Pusat.
Penulis : Ramadani Wahyu