Jakarta (Greeners) – Pemeliharaan bayi monyet sebagai hewan peliharaan dan konten media sosial masih marak, padahal ini praktik yang keliru. Monyet adalah hewan liar yang seharusnya hidup di alam, bukan di kandang atau jadi hiburan. Masyarakat harus berhenti menormalisasi hal ini demi kesejahteraan satwa dan kelestarian ekosistem.
Perbincangan mengenai pemeliharaan monyet kembali mencuat setelah selebgram Palembang, Icha Atazen, membawa dua ekor anak monyet ke Palembang Indah Mall (PIM). Aksi tersebut viral di media sosial dan memicu beragam reaksi dari netizen, termasuk kecaman dari aktivis lingkungan.
Peneliti dan aktivis lingkungan, Rheza Maulana, menilai bahwa pemeliharaan bayi monyet adalah tren yang keliru dan berbahaya. Menurutnya, meskipun tren ini sudah cukup umum, namun seharusnya masyarakat tidak menormalisasi praktik ini.
BACA JUGA: BKSDA Aceh Lepasliarkan 1.107 Ekor Tukik Tuntong Laut
“Monyet itu adalah satwa liar yang seharusnya hidup di hutan, bukan hewan peliharaan,” kata Rheza kepada Greeners, Kamis (30/1).
Lebih lanjut, Rheza menjelaskan bahwa di balik pemeliharaan bayi monyet ada kekejaman yang sering kali tersembunyi. Induk monyet yang sangat protektif terhadap bayinya sering kali dibunuh demi mendapatkan bayi monyet yang kemudian diperdagangkan.
“Bayangkan, jika ada 100 bayi monyet dijual, berarti ada 100 induk yang harus mati. Ini bukan hanya ilegal, tetapi juga kejam dan menyimpang,” tegasnya.
Peran Monyet untuk Ekosistem
Selain itu, Rheza juga menekankan peran penting monyet dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai penyebar benih alami, monyet memiliki kontribusi vital bagi regenerasi tumbuhan dan pepohonan di hutan. Tanpa keberadaan mereka, hutan bisa mengalami kerusakan, yang pada akhirnya akan merugikan manusia juga.
“Masyarakat harus memahami ini. Hanya karena satwa liar itu manusia pelihara, tidak serta merta mengubah mereka menjadi hewan peliharaan,” tambahnya.
Ia menambahkan, satwa liar dan hewan peliharaan adalah dua kategori yang sangat berbeda. Meskipun hewan peliharaan berasal dari satwa liar yang terdomestikasi, tidak semua satwa liar bisa atau seharusnya didomestikasi.
Domestikasi adalah proses panjang yang berlangsung selama puluhan ribu tahun, di mana hewan berubah secara fisik dan mental untuk hidup berdampingan dengan manusia tanpa mengganggu ekosistem mereka. Maka dari itu, tidak bisa semua hewan itu disamaratakan dan masyarakat harus bisa membedakannya.
Ancaman Kesehatan
Masyarakat juga perlu menyadari dampak serius dari pemeliharaan hewan non-domestik, seperti monyet, baik terhadap kesejahteraan hewan itu sendiri maupun terhadap kehidupan manusia. Menurut Direktur Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Domestic dan dokter hewan, Merry Fernandez, pemeliharaan monyet sebagai hewan peliharaan telah melanggar prinsip kesejahteraan hewan yang seharusnya dihormati.
Misalnya dari segi kesehatan, ada risiko besar zoonosis, yaitu penularan penyakit antarspesies, baik dari hewan ke manusia maupun sebaliknya. Banyak yang menganggap zoonosis hanya terjadi dari hewan ke manusia, padahal manusia juga dapat menjadi sumber penyakit yang menular ke hewan.
Sebagai contoh, pada tahun 2013 hingga 2014, saat menangani satwa liar, Merry memeriksa monyet ekor panjang dan topeng monyet untuk mendeteksi tuberculosis. Hasilnya, sekitar 11% dari monyet yang ia periksa positif terinfeksi tuberculosis (TBC).
Monyet-monyet tersebut banyak berasal dari daerah Jakarta Timur, yang juga tercatat sebagai wilayah dengan angka kasus TBC tertinggi di Jakarta. Ini menunjukkan adanya hubungan antara pemeliharaan monyet di kawasan tersebut dengan penyebaran penyakit.
Jika monyet terinfeksi TBC, dampaknya sangat fatal bagi mereka, karena tidak ada pengobatan yang efektif. Meskipun manusia dapat diobati dengan antibiotik selama enam bulan, monyet yang terinfeksi TBC akan mati. Ini menunjukkan adanya risiko kesehatan yang sangat besar akibat pemeliharaan monyet.
Selain dampak kesehatan, pemeliharaan monyet juga memicu perilaku stres yang mengarah pada penyimpangan perilaku, seperti circling (muter-muter) atau passing (bergerak maju-mundur berulang).
“Saya sering menyaksikan perilaku yang lebih ekstrem saat aktif di rehabilitasi topeng monyet, seperti self-mutilation, di mana monyet menggigit tubuhnya sendiri hingga menyebabkan kerusakan fisik serius, seperti putusnya jari atau luka parah di tubuh,” kata Merry.
Pemicu perilaku tersebut adalah stres atau ketegangan, dan monyet akan menggigit bagian tubuh yang terasa terganggu, seperti ekor atau tangan. Secara fisik, perilaku ini lebih sering terlihat pada monyet jantan, sementara betina cenderung menunjukkan gejala depresi.
Peran Media
Rheza mengatakan bahwa untuk menghentikan normalisasi praktik pemeliharaan satwa non-domestik, keterlibatan jurnalis dan awak media sangatlah penting. Sebab, ia masih sering melihat media memberitakan influencer yang memelihara bayi monyet tanpa memberikan penafsiran atau analisis kritis. Berita tersebut hanya mereka sebarkan begitu saja, tanpa menjelaskan bahwa praktik tersebut sebenarnya keliru.
“Tak jarang media memberi ‘panggung’ kepada orang-orang yang tidak kompeten sama sekali. Padahal, bila kita memberitakan tentang isu medis, kita akan cari narasumber dokter, bukan? Atau memberitakan perkara hukum, maka mendatangkan pakar hukum. Lantas, kenapa isu satwa yang menjadi acuan adalah orang awam?” imbuh Rheza.
BACA JUGA: Pelepasliaran 28 Satwa Liar di TN Bukit Barisan Selatan
Oleh karena itu, penting bagi media untuk mencari sumber informasi yang valid, seperti praktisi konservasi dan ahli primata atau primatologi. Selain itu, media juga seharusnya memberitakan kegiatan konservasi, seperti penyelamatan, rehabilitasi, pelepasliaran, dan pelestarian satwa.
Dengan cara ini, masyarakat dapat lebih memahami bahwa tren memelihara bayi monyet adalah bentuk eksploitasi. Cara yang benar untuk menyayangi monyet adalah dengan memastikan keberlanjutan hidup mereka di alam. Jika langkah-langkah ini diambil, tentunya akan sangat membantu meningkatkan pehamaman masyarakat dan meredam eksploitasi secara lebih efisien.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia