Jambi (Greeners) – Jambore Masyarakat Gambut diakui telah berhasil memetakan beberapa permasalahan masyarakat yang hidup di wilayah gambut, khususnya mereka yang wilayahnya masuk dalam program restorasi oleh Badan Restorasi Gambut (BRG).
Deputi bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A Safitri memaparkan, beberapa permasalahan tersebut diantaranya adalah potensi komoditi yang ada di lahan gambut. Melalui Jambore ini, katanya, masyarakat menjadi tahu kalau mereka bisa mengembangkan banyak jenis budidaya di lahan gambut.
Myrna juga mengatakan bahwa melalui jambore ini, seharusnya masyarakat tidak lagi kebingungan mengenai masalah pendanaan karena ada banyak pilihan solusi. Ia menerangkan, masyarakat sudah harus tahu kalau pendanaan tidak hanya bersumber dari anggaran pemerintah dan korporasi saja, tapi kegiatan-kegiatan solidaritas masyarakat juga bisa menjadi pilihan.
“Problem yang terkait pasar pun terpetakan. Di Jambore ini masyarakat mendapatkan edukasi dan informasi mengenai pemasaran produk-produk mereka,” jelasnya saat ditemui pada acara penutupan Jambore Masyarakat Gambut di Jambi, Senin (07/11).
BACA JUGA: Jambore Masyarakat Gambut Pertemukan Masyarakat dari 7 Provinsi Prioritas
Mengenai konflik, Myrna menyatakan bahwa BRG melihat permasalahan ini memang masih ada dan banyak terjadi di beberapa daerah. Menurutnya, konflik harus diselesaikan secara paralel bersama dengan pemberdayaan masyarakat. BRG nantinya akan memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi di lahan-lahan yang menjadi target restorasi.
“Dari 2,4 juta hektar target restorasi itu kan 50 persennya ada di wilayah konsesi. Penyelesaian konflik ini juga menjadi agenda penting yang akan berjalan paralel,” katanya.
Basri Hendri Darun, salah satu petani ladang peserta jambore dari Desa Mentangai Hulu, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah yang bertani di lahan gambut tipis ini mengakui dirinya mendapat banyak informasi berharga khususnya terkait pengolahan lahan gambut tipis tanpa membakar lahan.
BACA JUGA: Revisi PP 71/2014 tentang Pengelolaan Gambut Dipastikan Rampung Minggu Ini
Menurut Basri, pola pengolahan lahan gambut dengan cara membakar lahan masih menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Apalagi, pola pengolahan dengan bakar ini tergolong murah. Selain itu, ia juga mengatakan mendapat pengetahuan tentang keberhasilan petani di banyak daerah dalam membudidayakan jenis-jenis vegetasi ramah gambut yang menjanjikan.
“Di tempat kita tidak ada yang menanam pinang dan itu sangat menjual. Kami tertarik juga mau tanam itu. Dari segi pengelolaan, kami juga banyak belajar dari pengalaman petani lain dalam pembuatan sekat kanal, pembuatan sumur bor dan cara mengatur air di lahan gambut. Ini kelebihan petani-petani di banyak daerah bergambut yang ingin kami ujicobakan di tempat kami,” katanya.
Terkait kebakaran hutan yang terjadi di Kecamatan Mentangai pada tahun 2015 lalu, ia tidak menampik ada peran warga yang menjadi penyebab kebakaran. Ia pun mengakui banyak sekali kerugian yang didapat apabila masyarakat masih menggunakan pola bakar dalam membuka dan mengolah lahan gambutnya.
“Tahun kemarin itu hampir 80 persen hutan kami terbakar. Saya tidak mengetahui pasti apakah memang karena pola bakar yang dilakukan masyarakat atau dilakukan oleh perusahaan yang berdempetan dengan wilayah masyarakat. Tapi yang pasti, masyarakat sudah lama menolak keberadaan perusahaan sawit di sana. Harapan kami jambore ini paling tidak bisa memfasilitasi konflik yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan di Kecamatan Mentangai,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih