Malang (Greeners) – Setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer dengan jalan kaki, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Jumat (09/12), tiba di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Namun, masyarakat tidak ditemui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Dari keterangan perwakilan JMPPK, Joko Prianto, masyarakat diterima oleh Siswo Leksono (Asisten I Gubernur), Agus Sriyanto (Kepala BLH Provinsi), Bambang MP, Bowo Suryono dan dua orang lagi pada pukul 10.15 WIB.
Joko menyebut, hasil audiensi diketahui bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah menerima Putusan 99 PK/TUN/2016 yang mewajibkan kepada pihak Tergugat, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, untuk mencabut izin lingkungan Nomor: 660.1/17 Tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang kegiatan penambangan yang telah dikeluarkan kepada PT Semen Gresik, Tbk (sekarang berganti nama menjadi PT Semen Indonesia), dan menghentikan semua obyek sengketa.
Masyarakat, kata Joko Prianto, juga diberitahu jika Provinsi Jawa Tengah telah mencabut izin lingkungan Nomor: 660.30/17 tahun 2012, pada tanggal 9 november 2016. Namun, Gubernur juga mengeluarkan SK izin lingkungan baru nomor 660.1/30 tentang kegiatan penambangan bahan baku semen dan pembangunan serta pengoperasian pabrik semen PT Semen Persero tahun 2016 pada tanggal 9 November 2016.
BACA JUGA: Pusham Unair Soroti Putusan MA yang ‘Diabaikan’ Semen Indonesia
Dari pertemuan itu, warga diberitahu alasan pengeluaran izin baru berdasarkan Pasal 50 ayat (2) huruf a dan b PP 27 tahun 2012, yakni adanya perubahan nama dahulu PT Semen Gresik menjadi PT Semen Indonesia dan adanya permohonan perubahan data (luas wilayah tambang batu gamping dan batu lempung semakin mengecil).
Karena alasan tersebut sehingga dilakukan perubahan dengan mengeluarkan izin baru dan tidak memerlukan kajian Amdal atau kelayakan yang baru. “Alasan penerbitan izin disampaikan oleh Wahyudi Joko, Kepala Bidang pengendalian LH BLH Provinsi,” kata Joko Prianto kepada Greeners via whatsapp, Jumat (09/12/2016).
Sebelumnya, warga berjalan kaki selama empat hari empat malam, pada 5–8 Desember 2016, menempuh jarak ratusan kilometer, dari Rembang–Semarang, untuk menagih janji Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo agar mematuhi semua putusan pengadilan, dalam hal ini putusan PK Mahkamah Agung atas kasus semen di Rembang.
Dalam amar putusan MA tertanggal 5 Oktober 2016 dengan No Register 99 PK/TUN/2016 tersebut, mewajibkan kepada pihak Tergugat, dalam hal ini Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, untuk mencabut izin lingkungan Nomor: 660.1/17 Tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang kegiatan penambangan yang telah dikeluarkan kepada PT Semen Gresik, Tbk (sekarang berganti nama menjadi PT Semen Indonesia), dan menghentikan semua obyek sengketa.
“Dipatuhinya keputusan MA ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, baik pemerintah, rakyat maupun korporasi, untuk tetap konsisten menjadikan hukum sebagai panglima keadilan di negeri ini,” kata Joko Prianto.
Joko juga menyatakan bahwa dengan lestarinya Pegunungan Kendeng dan kawasan-kawasan karst yang lain, maka Jawa Tengah akan tetap lestari menjadi lumbung pangan dan kedaulatan pangan juga pasti terwujud.
“Perjuangan ini adalah perjuangan bersama. Tidak mengenal sekat wilayah. Pegunungan Kendeng membentang panjang mulai dari Kabupaten Tuban, Rembang, Blora, Grobogan, Pati dan Kudus. Jadi rusaknya wilayah Pegunungan Kendeng di salah satu kabupaten, pasti akan merembet ke daerah lain bahkan seluruh Jawa terancam bencana ekologis,” ujar Joko melalui siaran persnya.
BACA JUGA: Warga Gunung Kendeng Tuntut Izin Lingkungan Anak Perusahaan PT Indocement Dicabut
Menurut JMPPK, kelestarian Pegunungan Kendeng dan kawasan-kawasan karst yang tidak semata-mata hanya untuk kepentingan petani dan pertanian, tetapi juga untuk keberlangsungan kehidupan anak cucu kelak.
Pengadilan dipilih warga setelah berbagai upaya rembuk kepada pihak pemerintah daerah tidak ditanggapi secara serius. Peletakkan batu pertama pembangunan pabrik semen menjadi bukti bahwa suara masyarakat tidak didengarkan pemerintah. Warga lalu mendirikan “tenda perjuangan” sejak 2,5 tahun yang lalu hingga hari ini, sebagai bentuk penolakan ekspansi pabrik semen di wilayahnya. Ikhtiar masyarakat akhirnya mendapat angin segar setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan warga.
Namun, sebagaimana disampaikan Herlambang P Wiratraman dari Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Unair, mematuhi dan melaksanakan Putusan MA merupakan bagian tak terpisahkan dalam sistem negara hukum Indonesia. Hanya saja, ia khawatir Putusan MA tersebut akan disia-siakan sebagai langkah koreksi atas proses perizinan atau administrasi, terutama menyimak perkembangan dari media, seperti wacana yang dilakukan oleh DPR RI Komisi IV usai kunjungan kerjanya di lokasi industri yang mengindikasikan pembangunan pabrik Semen Indonesia tetap berlanjut.
“Pembangkangan untuk mengeksekusi putusan MA dalam bentuk pembatalan izin lingkungan, merupakan pembiaran yang mengakibatkan kemunduran atas situasi yang merugikan publik, terutama keadilan ekologi dan sosial,” kata Herlambang.
Penulis: HI/G17